SELAMAT MEMBACA

Selasa, September 11, 2012

MAQAMAT


A.    Pengertian Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam. Maqam secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual. Dalam Al-Qur’an, kata maqam, yang berarti tempat, disebutkan beberapa kali dengan kandungan makna yang abstrak (bersifat spiritual) dan konkret (bersifat fisik dan material), diantaranya pada surat al-baqarah (2):125, al-isra (17):79, maryam (19):73, al-shafat (37):164, al-dhukan (44):51, dan al-rahman (55):46.
Secara terminologis kata maqam dapat ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapat mereka berbeda satu sama lain bahasa namun secara substansi memiliki pemahaman yang relatif sama. Dalam pandangan al-Qusyairi (w. 465 H./1072 M.),maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada-Nya dengan berbagai upaya,di-wujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta latihan-latihan spiritual (riyadhah) menuju kepada-Nya.
Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w.465 H/1072 M.) menunjuk maqam pada “keberadaan” seseorang dijalan Allah SWT, yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaanya, sejauh berada dalam kekuatan manusia. Agak berbeda dengan kedua sufi di atas abu-ismail  al-anshari (w. 481.H/1089 M. berpandangan adalah pemenuhan hak-hak Allah. Jika seorang hamba tidak memenuhi hak-hak yang ada pada perhentian-perhentian (manazil) itu maka tidak syah baginya untuk naik ke maqam (tingkat) yang lebih tinggi[.
Abu Nashr al-sarraj (w. 388 H./988 M.) mempunyai pandangan yang cukup sistematis dan komprehensif tentang maqam. Menurutnya maqam adalah,
“kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati mujahadah, latihan-latihan spiritual (riyadhah), dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya (inqitha’ ila Allah)[.
Dalam kaitan ini, Allah berfirman: “yang demikian itu (adalah untuk) yang takut maqam (menghadap) kehadirat-Ku.” (Q.S Ibrahim :14), juga firman-Nya yang lain, “Tiada seorangpun diantara kalian (malaikat) melainkan mempunyai maqam (kedudukan) yang tertentu.” (Q.S al-Shafat: 164).
Menurut al-Sarraj, Abu Bakar al-Wasithi ketika ditanya tentang hadits Nabi yang menyatakan bahwa roh-roh itu ibarat pasukan yang mujanadah (dimobilisir), al-Wasithi menjawab, “mujanadah roh sesuai dengan maqam-maqam rohaninya.”
Dari keterangan al-Sarraj dapat dipahami betapa beratnya perjuangan (lahir-batin) seorang salik (penempuh jalan tasawuf) dalam menempuh maqamat untuk bisa wushul kepada Allah.derajat, posisi dan tingkatan seseorang hamba dihadapan Allah mutlak ditentukan oleh kesungguhanya didalam ibadah, riyadhah dan mujahadah.
Senafas dengan pandangan para sufi di atas, Amatullah Amstrong, memandang bahwa maqam diperoleh dan dicapai melalui upaya dan ketulusan sang penempuh jalan spiritual. Namun, menurut Amstrong, perolehan ini sesungguhnya terjadi berkat rahmat Allah jua. Jadi, maqam seorang hamba tidak semata hasil dari usahanya belaka melainkan ada intervensi Allah, yakni anugerah-Nya berupa maqam kepada sang hamba tersebut.
B.Tahapan Maqamat
1.      Tobat
Hampir mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat adalah maqam pertama. Abu Ya’qub Yusuf ibn Hamdan al-Susi, misalnya, menyebut bahwa maqam (tingkat) pertama dari maqamat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah tobat. Dan al-Ghazali  menyebut tobat sebagai permulaan jalannya para salik (mabda’ thariq al-salikin), modalnya harta orang-orang yang beruntung (ra’su mal al-faizin), dan permulaan langkah orang-orang yang berkehendak [kepada Allah] (awwal aqdam al-muridin).
Secara literal, tobat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf, tobat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, kemudian kembali kepada Allah.kembali kepada Allah bermakna mengerjakan segala yang disukai-Nya dalam hal ini ada sebuah hadist qudsi yang menyatakan, “Hamba-Ku yang secara kontinyu mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarnya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan.”
Tobat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena selama ia belum mampu melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu berarti ia tidak kebal terhadap godaan-godaan syaitan yang senantiasa mengajak jiwa rendahnya kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang
Keberadaan pada maqam al-taubah dalam ilmu tasawuf adalah proses kepada hal (mystical sate), yakni telah merupakan anugerah Tuhan semata-mata, dan bukan lagi hasil upaya manusia. Dalam hal ini R.A. Nicholson mengatakan:
“Acording to the hit mystical theory, repentance is purely an act of divine grace, coming from God to man, not from man to God.”
Menurut teori mistik yang tinggi, taubat semata-mata anugerah Tuhan, datang dari Tuhan kepada manusia, bukan dari manusia kepada Tuhan.
2.      Wara’
Secara literal wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf,wara’ bermakna menahan diri dari hal-hal yang haram (terlarang),atau menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan (syubhat). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan, “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.”
Abu Ali al-Daqqaq mengatakan, “wara’ adalah meninggalkan Apa pun yang syubhat.” Demikian pula Ibrahim ibn Adham (w. 165 H./782 M.) menjelaskan, “wara’ adalah segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.” Sulaiman al-Khawwas, ketika ditanya tentang wara’ menjawab, “hendaknya seorang hamba tidak berbicara kecuali yang benar, begitu juga ketika marah atau rela, dan perhatiannya hendaknya senantiasa  terhadap apa-apa yang diridhai Allah.”
Jadi, wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat: berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan seorang muslim. Semua itu jika tidsk memberi manfaat tidak akan dilakukannya. Karena itu orang yang bersifat wara’ adalah yang terus berusaha agar setiap ucapannya memberi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Jika tidak, ia memilih diam. Demikian juga penglihatan, pendengaran, perbuatan atau ide, sekiranya akan memberi manfaat akan dilakukannya.
Wara’ sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan zuhud (menolak dikuasai duniawi). Suhrawardi dalam awarif-nya, misalnya menyebut wara’ sebagai fondasi zuhud. Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda, “bersikaplah wara, engkau akan menjadi orang yang paling taat beribadah di antara umat manusia.” Keterkaitan wara’ dengan zuhud ini diisyaratkan oleh pernyataan Abu Hurairah bahwa sahabat-sahabat dalam majelis Allah di akhirat kelak adalah orang-orang yang wara’ dan zuhud, juga pernyataan al-Darani bahwa wara’ merupakan titik tolak zuhud, sebagaimana qana’ah (sikap puas terhadap apa yang ada) adalah bagian utama dari ridha.
Dalam pandangan al-Sarraj, wara’ merupakan maqam yang mulia. Kemuliaan maqam ini disebabkan ia terkait erat dengan agama; wara’ adalah sendi atau tiang agama. Nabi bersabda, “Sendi agama kalian adalah wara’.” Dari Hadist Nabi ini dan pandangan kaum sufi di atas bias dipahami bahwa seseorang yang hidup secara sembarangan (termasuk sembarangan dalam ibadah), tidak hati-hati dalam setiap tingkah lakunya, tidak cermat dalam memilih dan memilah kata, makanan dan minuman yang dikonsumsinya, atau bahkan malah cenderung menghalalkan segala cara, maka telah runtuh tiang agamanya. Dan hal itu berarti sebuah bencana besar.
3.      Zuhd
Secara literal berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak menyukai. Dalam Al-Qur’an, misalnya disebut pada surat yusuf [12]:20, “dan mereka tidak tertarik (min al-zahidin).” Yang dimaksud dengan al-zahidin dalam ayat itu mengandung makna, “tidak tertarik hatinya” kepada harga jual Yusuf. Kata Zuhd (z, h, dan d) sendiri, menurut Abu Bakar Muhammad al-Warraq (w.290 H./903 M.), mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z berarti zinah (perhiasan, kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan huruf d menunjuk kepada dunya (dunia materi).
Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya. Dari definisi tersebut timbul pertanyaan, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hal ihwal keduniaan itu. Jawaban atas pertanyaan itu tersirat dalam Al-Qur’an, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imron: 14). Juga berfirman , “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak…” (QS. al-Hadid: 20).
4.      Faqr
Dalam tasawuf faqr berarti senantiasa merasa butuh kepada Allah. Seorang hamba menyatakan diri tidak memiliki sesuatu, bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal duniawi, merasakan kebutuhan dan ketidakberdayaan di hadapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Wahai manusia, kamulah yang fakir (butuh) kepada Allah sedangkan Allah Maha Kaya lagi Terpuji.” (Q.S fathir: 15).
Jadi, faqr bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tapi orang yang bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Ini juga bermakna bahwa faqr itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau batinnya dengan Allah. Abu Bakar al-Syibli menyebut bahwa orang fakir adlah orang yang kaya dengan Allah semata. Sementara Yahya al-Razi (w.258 H.) menyatakan bahwa barang siapa yang kekayaannya terletak dalam usahanya, maka ia senantiasa fakir, dan barang siapa yang kekayaannya terletak dalam hatinya, maka ia senantiasa kaya, dan barang siapa yang menyampaikan hajatnya kepadaa makhluk (manusia), maka ia senantiasa tidak mendapat apa-apa (mahrum). Dalam pandangan al-Ghazali faqr adalah hilangnya apa-apa yang dibutuhkan. Artinya ia benar-benar membutuhkan yang hilang itu. Seseorang yang kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan maka bukan faqr namanya. Begitu juga jika barang yang dibutuhkan itu ada dan bisa di dapatkan maka orang yang membutuhkan itu tidak bisa disebut faqir. Sementara kebutuhan manusia dalam hidupnya tidak selalu terpenuhi dengan baik. Oleh karenanya, segala sesuatu (makhluk) selain Allah pasti membutuhkan (faqr) kepada Wujud yang terus menerus ada (Allah).
Menurut al-Sarraj, kekafiran merupakan maqam yang mulia. Orang-orang fakir yang ber-jihad disebut Allah, “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, meareka tidak dapat berusaha di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 273.). Juga sebuah Hadist Nabi yang menyatakan, “Kefakiran itun lebih indah bagi orang beriman daripada mahkota kerajaan Persia.”
5.      Shabr
Secara literal (Shabr) berarti menahan atau menanggung. Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga adab di hadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta tabah dalam mengahadapi setiap peristiwa tanpa memperlihatkan keputusasaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Bersabarlah (engkau Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu kecuali dengan pertolongan Allah.” (QS. Al-Nahl: 127). Juga sebuah hadits nabi yang menyatakan, “sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menhadapi cobaan yang pertama.” (HR. Bukhari, Turmudzi dan Nasa’i).
Dalam pandangan kaum sufi, musuh terberat bagi orang-orang yang beriman ialah “dorongan hawa nafsunya sendiri”, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya, mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak munngkin dicapai. Diriwayatkan bahwa seorang pria mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana kiranya aku, harta kekayaanku telah lenyap dan badanku telah sakit-sakitan. Nabi bersabda, “Seorang hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaannya tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencinntai seorang hamba,ia akan mengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah.” (HR. al-Tirmizi).
Cobaan Allah itu tidak senantiasa pedih dan pahit, tetapi sering pula muncul dalam kenikmatan. Perasaan takut, kelaparan, kekurangan sandang, pangan, dan papan, penderitaan fisik, kekurangan hasil tanaman, serta sulitnya kebutuhan pokok yang menjadi hajat manusia, merupakan cobaan Tuhan yang dirasakan pahit oleh jiwa. Cobaan-cobaan demikian hanya dapat dihadapi dengan sabar. Allah memberikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar, karena dengan kesabaran itu mereka akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya (QS. al-Maidah: 154-157). Disamping cobaan-cobaan yang pahit itu, Tuhan juga memberikan cobaan-cobaan yang sepintas terasa menyenangkan seperti kekayaan yang melimpah dan pangkat serta jabatan keduniaan yang mengagumkan.
Al-Ghazali memandang sabar merupakan sebagian dari agama. Sabar adalah ciri khas manusia bila disbanding hewan dan malaikat. Sabar ibarat sepasukan tentara berhadapan dengan tentara lain (hawa nafsu) untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Pada bayi dan binatang tak memiliki tentara kecuali tentara hawa nafsu.
6.      Tawakkul
Secara literal tawakkul (tawakal) berarti memasrahkan, menyerahkan kepada-Nya dan mencukupkan diri dengan-Nya. Dalam perspektif tasawuf, tawakkul berate mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Tawakkul merupakan salah satu maqam yang sangat penting, mengingat ia tak dapat dipisahkan dengan iman (keyakinan), sebuah elemen yang sangat prinsipil dalam islam. Schimmel menyebut tawakkul sebagai kunci untuk memahami pemimiran para sufi klasik. Tawakkul merupakan inti ajaran islam, karena tanpa keyakinan kepada Allah tak mungkin percaya kepada-Nya. Tanpa percaya kepada-Nya (Tawakkul), juga tak mungkin bersikap tunduk dan pasrah (islam) kepada-Nya.
Dalam konteks tasawuf, tawakkul merupakan refleksi dari tawhid yang murni, sebab jika masih ada ketakutan atau ketergantungan pada sesuatu mahkluk berarti masuk ke dalam syirik khafi (mempersekutukan Allah secara sembunnyi). Dalam pandangan schimmel lebih lanjut, tawakkul merupakan salah satu kebenaran yang pokok dalam psikologi sufi. Tawakkul akan menghasilkan ketentraman batin yang sempurna. Dan tawakkul yang benar adalah lebih merupakan suatu sikap rohaniah daripada suatu perilaku lahiriah.
Al-Ghazali memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan kekuasaan dalam suatu urusan kepada wakilnya, setelah ia meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungguhan wakilnya dalam menangani urusan itu. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah, sperti seorang anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya. Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang memandikannya. Orang yang berada pada tawakkul tingkat pertama masih memperlihatkan harapan dan keinginan yang muncul pada dirinya, meskipun segala urusan telah diwakilkannya kepada Allah. Kemudian pada tawakkul tingkat kedua, harapan dan keinginan masih terlihat namun sudah jauh berkurang. Tawakal pada tingkat ketiga dipandang sebagai kepasrahan total kepada Allah.
7.      Ridha
Dalam perspektif tasawuf, ridha atau kerelaan berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dan senang terhadap apapun keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba, entah itu menyenangkan atau tidak. Ridha dari Allah muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadap sang hamba lebih baik daripada keputusan hamba itu bagi dirinya sendiri. Jika seseorang merasa ridha kepada Allah niscaya Allah pun ridha kepadanya. (QS. al-Maidah:119). Keridhaan sang hamba terhadap Allah dan perkenan Allah terhadap hamba-Nya hanya dapat diraih melalui tahapan penyucian jiwa, sehingga ia memperoleh ketentraman batin. Hanya orang yang memiliki hati yang tenteram serta berharap secara tulus kepada Allah dengan penuh rasa cinta, yang akan mendapat panggilan untuk berada bersama-Nya. (QS. al-Fajr: 27-30)
Kerelaan dan perkenan Allah terhadap hamba-Nya merupakan dambaan para sufi dalam perjalanan spiritualnya menuju Allah. Hal ini terungkap, misalnya, dalam serangkaian syair sufi yang berwujud do’a, “Tuhanku, hanya engkau yang aku tuju, ridha-Mu yang aku cari, maka karuniakanlah kepadaku dan makrifat-Mu.
Menurut al-Ghazali, ridha merupakan buah dari cinta (mahabbah). Jika telah kokoh cinta sang hamba kepada Allah dan ia tenggelam dalam lautan cinta-Nya, maka ia akan rela terhadap apapun yang dilakukan Sang Kekasih. Hal ini tampak, misalnya, dalam pertanyaan al-junaid kepada sari al-Saqathi, “apakah sang pecinta merasakan kesakitan?” al- saqathi menjawab “Tidak !, junaid melanjutkan, “meskipun ia dipukul dengan pedang,” “ya” kata al-saqathi, meskipun ia dipukul dengan pedang 70 pukulan dengan pukulan-pukulan yang sangat keras.” Tegas al-saqathi. Sebagian kaum sufi juga pernah mengatakan, “aku cinta terhadap apapun yang dicintai Allah, bahkan jika ia mencintai neraka aku juga senang masuk ke dalamnya.”


Referensi
Abudin Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002.
-  al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t..
-  Asmaran As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindoPersada, 1996
-  http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html
- Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
- Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
-  Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindoPersada, 1996
-    Qusyairi, Abu Abd. Al-Karim al, al-Risalah al-Qusayriyyah, Dar al-Khutub al-haditsah, tanpa tahun.
-    Bahri, Media Zainul. Menembus Tirai Kesendirian-NYA. Jakarta: Prenada, 2005.
-    Zaki Ibrahim Muhammad. Tasawuf Hitam Putih. Solo:PT Tiga Serangkai Pustaka Manditi. 2004.
-    Aziz Syaifullah,Drs. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya:Terbit Terang.

Tidak ada komentar: