A.
Pengertian
Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam.
Maqam secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi
atau tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual.
Dalam Al-Qur’an, kata maqam, yang berarti tempat, disebutkan beberapa kali
dengan kandungan makna yang abstrak (bersifat spiritual) dan konkret (bersifat
fisik dan material), diantaranya pada surat al-baqarah (2):125,
al-isra (17):79,
maryam (19):73,
al-shafat (37):164,
al-dhukan (44):51,
dan al-rahman (55):46.
Secara terminologis kata maqam dapat
ditelusuri pengertiannya dari pendapat para sufi, yang masing-masing pendapat
mereka berbeda satu sama lain bahasa namun secara substansi memiliki pemahaman
yang relatif sama. Dalam pandangan al-Qusyairi (w. 465 H./1072 M.),maqam adalah
tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepada-Nya
dengan berbagai upaya,di-wujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran
tugas. Masing-masing berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi
tersebut, serta latihan-latihan spiritual (riyadhah) menuju kepada-Nya.
Senada dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri
(w.465 H/1072 M.) menunjuk maqam pada “keberadaan” seseorang dijalan Allah SWT,
yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta
menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaanya, sejauh berada dalam kekuatan
manusia.
Agak berbeda dengan kedua sufi di atas abu-ismail al-anshari (w. 481.H/1089 M. berpandangan
adalah pemenuhan hak-hak Allah. Jika seorang hamba tidak memenuhi hak-hak yang
ada pada perhentian-perhentian (manazil) itu maka tidak syah baginya untuk naik
ke maqam (tingkat) yang lebih tinggi[.
Abu Nashr al-sarraj (w. 388 H./988 M.)
mempunyai pandangan yang cukup sistematis dan komprehensif tentang maqam.
Menurutnya maqam adalah,
“kedudukan atau tingkatan seorang hamba
di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati mujahadah,
latihan-latihan spiritual (riyadhah), dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya (inqitha’ ila Allah)[.
Dalam kaitan ini, Allah berfirman: “yang
demikian itu (adalah untuk) yang takut maqam (menghadap) kehadirat-Ku.” (Q.S
Ibrahim :14), juga firman-Nya yang lain, “Tiada seorangpun diantara kalian
(malaikat) melainkan mempunyai maqam (kedudukan) yang tertentu.” (Q.S
al-Shafat: 164).
Menurut al-Sarraj, Abu Bakar al-Wasithi
ketika ditanya tentang hadits Nabi yang menyatakan bahwa roh-roh itu ibarat
pasukan yang mujanadah (dimobilisir), al-Wasithi menjawab, “mujanadah roh
sesuai dengan maqam-maqam rohaninya.”
Dari keterangan al-Sarraj dapat dipahami
betapa beratnya perjuangan (lahir-batin) seorang salik (penempuh jalan tasawuf)
dalam menempuh maqamat untuk bisa wushul kepada Allah.derajat, posisi dan
tingkatan seseorang hamba dihadapan Allah mutlak ditentukan oleh kesungguhanya
didalam ibadah, riyadhah dan mujahadah.
Senafas dengan pandangan para sufi di
atas, Amatullah Amstrong, memandang bahwa maqam diperoleh dan dicapai melalui
upaya dan ketulusan sang penempuh jalan spiritual. Namun, menurut Amstrong,
perolehan ini sesungguhnya terjadi berkat rahmat Allah jua.
Jadi, maqam seorang hamba tidak semata hasil dari usahanya belaka melainkan ada
intervensi Allah, yakni anugerah-Nya berupa maqam kepada sang hamba tersebut.
B.Tahapan
Maqamat
1.
Tobat
Hampir
mayoritas kaum sufi sepakat bahwa tobat adalah maqam pertama. Abu Ya’qub
Yusuf ibn Hamdan al-Susi, misalnya, menyebut bahwa maqam (tingkat) pertama
dari maqamat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah adalah tobat.
Dan al-Ghazali menyebut tobat
sebagai permulaan jalannya para salik (mabda’ thariq al-salikin), modalnya
harta orang-orang yang beruntung (ra’su mal al-faizin), dan permulaan langkah
orang-orang yang berkehendak [kepada Allah] (awwal aqdam al-muridin).
Secara
literal, tobat berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf, tobat berarti
kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak
mengulanginya kembali, kemudian kembali kepada Allah.kembali kepada Allah
bermakna mengerjakan segala yang disukai-Nya dalam hal ini ada sebuah hadist
qudsi yang menyatakan, “Hamba-Ku yang secara kontinyu mendekat kepada-Ku
dengan ibadah-ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya,
maka Aku akan menjadi pendengarnya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya
yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul dan
menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan.”
Tobat
merupakan kewajiban bagi setiap muslim, karena selama ia belum mampu
melaksanakan ibadah kepada Allah secara sempurna, maka itu berarti ia tidak
kebal terhadap godaan-godaan syaitan yang senantiasa mengajak jiwa rendahnya
kepada perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan terlarang
Keberadaan
pada maqam al-taubah dalam ilmu tasawuf adalah proses kepada hal
(mystical sate), yakni telah
merupakan anugerah Tuhan semata-mata, dan bukan lagi
hasil upaya manusia. Dalam hal ini R.A. Nicholson
mengatakan:
“Acording
to the hit mystical theory, repentance is purely an act of divine grace, coming
from God to man, not from man to God.”
Menurut teori mistik yang tinggi, taubat semata-mata
anugerah Tuhan, datang dari Tuhan
kepada manusia, bukan dari manusia kepada Tuhan.
2.
Wara’
Secara
literal wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan menahan dari hal-hal yang
syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf,wara’ bermakna menahan diri dari
hal-hal yang haram (terlarang),atau menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan
(syubhat). Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang menyatakan, “Sebagian dari
kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu
yang tidak berarti.”
Abu
Ali al-Daqqaq mengatakan, “wara’ adalah meninggalkan Apa pun yang syubhat.”
Demikian pula Ibrahim ibn Adham (w. 165 H./782 M.) menjelaskan, “wara’ adalah
segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun
yang berlebihan.” Sulaiman al-Khawwas, ketika ditanya tentang wara’
menjawab, “hendaknya seorang hamba tidak berbicara kecuali yang benar, begitu
juga ketika marah atau rela, dan perhatiannya hendaknya senantiasa terhadap apa-apa yang diridhai Allah.”
Jadi,
wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat: berupa ucapan,
penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide atau aktivitas lain yang dilakukan
seorang muslim. Semua itu jika tidsk memberi manfaat tidak akan dilakukannya.
Karena itu orang yang bersifat wara’ adalah yang terus berusaha agar setiap
ucapannya memberi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Jika tidak, ia
memilih diam. Demikian juga penglihatan, pendengaran, perbuatan atau ide,
sekiranya akan memberi manfaat akan dilakukannya.
Wara’
sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan zuhud (menolak dikuasai duniawi). Suhrawardi
dalam awarif-nya, misalnya menyebut wara’ sebagai fondasi zuhud. Dalam
sebuah hadits, Nabi bersabda, “bersikaplah wara, engkau akan menjadi orang
yang paling taat beribadah di antara umat manusia.”
Keterkaitan wara’ dengan zuhud ini diisyaratkan oleh pernyataan Abu Hurairah
bahwa sahabat-sahabat dalam majelis Allah di akhirat kelak adalah orang-orang
yang wara’ dan zuhud, juga pernyataan al-Darani bahwa wara’ merupakan titik
tolak zuhud,
sebagaimana qana’ah (sikap puas terhadap apa yang ada) adalah bagian utama dari
ridha.
Dalam
pandangan al-Sarraj, wara’ merupakan maqam yang mulia.
Kemuliaan maqam ini disebabkan ia terkait erat dengan agama; wara’ adalah sendi
atau tiang agama. Nabi bersabda, “Sendi agama kalian adalah wara’.” Dari
Hadist Nabi ini dan pandangan kaum sufi di atas bias dipahami bahwa seseorang
yang hidup secara sembarangan (termasuk sembarangan dalam ibadah), tidak
hati-hati dalam setiap tingkah lakunya, tidak cermat dalam memilih dan memilah
kata, makanan dan minuman yang dikonsumsinya, atau bahkan malah cenderung
menghalalkan segala cara, maka telah runtuh tiang agamanya. Dan hal itu berarti
sebuah bencana besar.
3.
Zuhd
Secara
literal berarti meninggalkan, tidak tertarik dan tidak menyukai.
Dalam Al-Qur’an, misalnya disebut pada surat yusuf [12]:20, “dan mereka tidak
tertarik (min al-zahidin).” Yang dimaksud dengan al-zahidin dalam ayat itu
mengandung makna, “tidak tertarik hatinya” kepada harga jual Yusuf. Kata Zuhd
(z, h, dan d) sendiri, menurut Abu Bakar Muhammad al-Warraq (w.290
H./903 M.), mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf z
berarti zinah (perhiasan, kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan),
dan huruf d menunjuk kepada dunya (dunia materi).
Dalam
perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal
keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah, padahal
terdapat kesempatan untuk memperolehnya. Dari definisi tersebut timbul
pertanyaan, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hal ihwal keduniaan itu.
Jawaban atas pertanyaan itu tersirat dalam Al-Qur’an, “Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali
Imron: 14). Juga berfirman , “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak…” (QS.
al-Hadid: 20).
4.
Faqr
Dalam tasawuf faqr berarti senantiasa
merasa butuh kepada Allah. Seorang hamba menyatakan diri tidak memiliki
sesuatu, bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal duniawi, merasakan
kebutuhan dan ketidakberdayaan di hadapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman
Allah, “Wahai manusia, kamulah yang fakir (butuh) kepada Allah sedangkan
Allah Maha Kaya lagi Terpuji.” (Q.S fathir: 15).
Jadi, faqr bukan orang yang tidak punya
bekal hidup, tapi orang yang bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi.
Ini juga bermakna bahwa faqr itu adalah orang yang hanya memperkaya rohani atau
batinnya dengan Allah. Abu Bakar al-Syibli menyebut bahwa orang fakir
adlah orang yang kaya dengan Allah semata. Sementara Yahya al-Razi
(w.258 H.) menyatakan bahwa barang siapa yang kekayaannya terletak dalam
usahanya, maka ia senantiasa fakir, dan barang siapa yang kekayaannya terletak
dalam hatinya, maka ia senantiasa kaya, dan barang siapa yang menyampaikan
hajatnya kepadaa makhluk (manusia), maka ia senantiasa tidak mendapat apa-apa
(mahrum).
Dalam pandangan al-Ghazali faqr adalah hilangnya apa-apa yang
dibutuhkan. Artinya ia benar-benar membutuhkan yang hilang itu. Seseorang yang
kehilangan apa-apa yang tidak ia butuhkan maka bukan faqr namanya. Begitu juga
jika barang yang dibutuhkan itu ada dan bisa di dapatkan maka orang yang
membutuhkan itu tidak bisa disebut faqir. Sementara kebutuhan manusia dalam
hidupnya tidak selalu terpenuhi dengan baik. Oleh karenanya, segala sesuatu
(makhluk) selain Allah pasti membutuhkan (faqr) kepada Wujud yang terus menerus
ada (Allah).
Menurut al-Sarraj, kekafiran merupakan
maqam yang mulia.
Orang-orang fakir yang ber-jihad disebut Allah, “(Berinfaklah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, meareka tidak dapat
berusaha di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena
memelihara diri dari meminta-minta.” (QS. Al-Baqarah: 273.). Juga sebuah
Hadist Nabi yang menyatakan, “Kefakiran itun lebih indah bagi orang beriman
daripada mahkota kerajaan Persia.”
5.
Shabr
Secara
literal (Shabr) berarti menahan atau menanggung.
Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga adab di hadapan musibah yang
menimpanya, selalu tabah dalam menjalani perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, serta tabah dalam mengahadapi setiap peristiwa tanpa
memperlihatkan keputusasaan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Bersabarlah
(engkau Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu kecuali dengan pertolongan Allah.”
(QS. Al-Nahl: 127). Juga sebuah hadits nabi yang menyatakan, “sabar (yang
sebenarnya) itu adalah pada saat menhadapi cobaan yang pertama.” (HR.
Bukhari, Turmudzi dan Nasa’i).
Dalam
pandangan kaum sufi, musuh terberat bagi orang-orang yang beriman ialah
“dorongan hawa nafsunya sendiri”, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman.
Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih
besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya, mengenal-Nya secara
mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, karena tanpa
kesabaran keberhasilan tidak munngkin dicapai. Diriwayatkan bahwa seorang pria
mengadu kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana kiranya aku, harta
kekayaanku telah lenyap dan badanku telah sakit-sakitan. Nabi bersabda, “Seorang
hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaannya
tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencinntai
seorang hamba,ia akan mengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika
Allah mengujimu, maka bersabarlah.” (HR. al-Tirmizi).
Cobaan
Allah itu tidak senantiasa pedih dan pahit, tetapi sering pula muncul dalam
kenikmatan. Perasaan takut, kelaparan, kekurangan sandang, pangan, dan papan,
penderitaan fisik, kekurangan hasil tanaman, serta sulitnya kebutuhan pokok
yang menjadi hajat manusia, merupakan cobaan Tuhan yang dirasakan pahit oleh
jiwa. Cobaan-cobaan demikian hanya dapat dihadapi dengan sabar. Allah
memberikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar, karena dengan
kesabaran itu mereka akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya (QS.
al-Maidah: 154-157). Disamping cobaan-cobaan yang pahit itu, Tuhan juga
memberikan cobaan-cobaan yang sepintas terasa menyenangkan seperti kekayaan
yang melimpah dan pangkat serta jabatan keduniaan yang mengagumkan.
Al-Ghazali
memandang sabar merupakan sebagian dari agama. Sabar adalah ciri khas manusia
bila disbanding hewan dan malaikat. Sabar ibarat sepasukan tentara berhadapan
dengan tentara lain (hawa nafsu) untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Pada bayi dan binatang tak memiliki tentara kecuali tentara hawa nafsu.
6.
Tawakkul
Secara
literal tawakkul (tawakal) berarti memasrahkan, menyerahkan kepada-Nya dan
mencukupkan diri dengan-Nya.
Dalam perspektif tasawuf, tawakkul berate mempercayakan atau menyerahkan
segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dan menyandarkan kepada-Nya penanganan
berbagai masalah yang dihadapi.
Tawakkul merupakan salah satu maqam yang sangat penting, mengingat ia tak dapat
dipisahkan dengan iman (keyakinan), sebuah elemen yang sangat prinsipil dalam
islam. Schimmel menyebut tawakkul sebagai kunci untuk memahami pemimiran
para sufi klasik. Tawakkul merupakan inti ajaran islam, karena tanpa keyakinan
kepada Allah tak mungkin percaya kepada-Nya. Tanpa percaya kepada-Nya
(Tawakkul), juga tak mungkin bersikap tunduk dan pasrah (islam) kepada-Nya.
Dalam
konteks tasawuf, tawakkul merupakan refleksi dari tawhid yang murni, sebab jika
masih ada ketakutan atau ketergantungan pada sesuatu mahkluk berarti masuk ke
dalam syirik khafi (mempersekutukan Allah secara sembunnyi). Dalam pandangan
schimmel lebih lanjut, tawakkul merupakan salah satu kebenaran yang pokok dalam
psikologi sufi.
Tawakkul akan menghasilkan ketentraman batin yang sempurna. Dan tawakkul yang
benar adalah lebih merupakan suatu sikap rohaniah daripada suatu perilaku lahiriah.
Al-Ghazali
memandang bahwa tawakal terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, menyerahkan diri
kepada Allah, seperti seseorang yang menyerahkan kekuasaan dalam suatu urusan
kepada wakilnya, setelah ia meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungguhan
wakilnya dalam menangani urusan itu. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah,
sperti seorang anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya.
Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah laksana mayat di tangan orang yang
memandikannya. Orang yang berada pada tawakkul tingkat pertama masih
memperlihatkan harapan dan keinginan yang muncul pada dirinya, meskipun segala
urusan telah diwakilkannya kepada Allah. Kemudian pada tawakkul tingkat kedua,
harapan dan keinginan masih terlihat namun sudah jauh berkurang. Tawakal pada
tingkat ketiga dipandang sebagai kepasrahan total kepada Allah.
7.
Ridha
Dalam
perspektif tasawuf, ridha atau kerelaan berarti sebuah sikap menerima dengan
lapang dan senang terhadap apapun keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang
hamba, entah itu menyenangkan atau tidak. Ridha dari Allah muncul dari
keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadap sang hamba lebih baik daripada
keputusan hamba itu bagi dirinya sendiri. Jika seseorang merasa ridha kepada
Allah niscaya Allah pun ridha kepadanya. (QS. al-Maidah:119). Keridhaan sang
hamba terhadap Allah dan perkenan Allah terhadap hamba-Nya hanya dapat diraih
melalui tahapan penyucian jiwa, sehingga ia memperoleh ketentraman batin. Hanya
orang yang memiliki hati yang tenteram serta berharap secara tulus kepada Allah
dengan penuh rasa cinta, yang akan mendapat panggilan untuk berada bersama-Nya.
(QS. al-Fajr: 27-30)
Kerelaan
dan perkenan Allah terhadap hamba-Nya merupakan dambaan para sufi dalam
perjalanan spiritualnya menuju Allah. Hal ini terungkap, misalnya, dalam
serangkaian syair sufi yang berwujud do’a, “Tuhanku, hanya engkau yang aku
tuju, ridha-Mu yang aku cari, maka karuniakanlah kepadaku dan makrifat-Mu.
Menurut
al-Ghazali, ridha merupakan buah dari cinta (mahabbah). Jika telah kokoh
cinta sang hamba kepada Allah dan ia tenggelam dalam lautan cinta-Nya, maka ia
akan rela terhadap apapun yang dilakukan Sang Kekasih. Hal ini tampak,
misalnya, dalam pertanyaan al-junaid kepada sari al-Saqathi, “apakah sang
pecinta merasakan kesakitan?” al- saqathi menjawab “Tidak !, junaid
melanjutkan, “meskipun ia dipukul dengan pedang,” “ya” kata al-saqathi,
meskipun ia dipukul dengan pedang 70 pukulan dengan pukulan-pukulan yang sangat
keras.” Tegas al-saqathi. Sebagian kaum sufi juga pernah mengatakan, “aku cinta
terhadap apapun yang dicintai Allah, bahkan jika ia mencintai neraka aku juga
senang masuk ke dalamnya.”
Referensi
- Abudin
Nata, Dr. MA. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002.
- al-Ghazali. Ihya’ Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr,
t.t..
- Asmaran
As, Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:
RadjaGrafindoPersada, 1996
- http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TasawufHN1.html
-
Permadi, K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf.
Jakarta: Rineka Cipta, 2004
- Rosihon Anwar, Drs. M.Ag.
Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
- Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta:
RajaGrafindoPersada, 1996
-
Qusyairi, Abu
Abd. Al-Karim al, al-Risalah al-Qusayriyyah, Dar al-Khutub al-haditsah, tanpa
tahun.
-
Bahri, Media
Zainul. Menembus Tirai Kesendirian-NYA. Jakarta: Prenada, 2005.
-
Zaki Ibrahim
Muhammad. Tasawuf Hitam Putih. Solo:PT Tiga Serangkai Pustaka Manditi.
2004.
-
Aziz
Syaifullah,Drs. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya:Terbit Terang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar