ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat self esteem anak akibat dari kekerasan Rumah Tangga.
Peneliti menggunakan metode wawancara dan analisis data dari RPSA Bima Sakti,
Batu. Dikarenakan sulitnya mencari data dan waktu yang terbatas, maka peneliti
masih sampai pada proses wawancara kepada ketua yayasan atau biasa dipanggil
pak Hari yang pernah mengatasi masalah tersebut. Peneliti juga mencari hasil
dari analisis data yang diperoleh. Dari
data yang diperoleh pada tahun 2011 ini, kasus KDRT sangat bervariasi
mulai dari penelantaran anak, kekerasan fisik sampai pemerkosaan yang dilakukan
oleh ayah kandungnya sendiri. Untuk sementara dari data yang diperoleh, penulis
mennyimpulkan bahwa anak korban KDRT memilik self esteem yang rendah. Karena
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada pak Hari (Ketua Yayasan) merupakan
indikator dari self esteem dan jawaban hasil dari wawancara menunjukan bahwa
ternyata KDRT mempengaruhi self esteem anak. Oleh karena itu, perlu adanya
pendampingan dan penguatan emosi untuk memulihkan kondisi anak agar mereka
dapat mengenali dirinya sendiri dan mengembangkan prestasi yang terpendam.
Pada tahun 2004 Negara Indonesia telah
menulis sebuah Undang-Undang yang membahas tentang KDRT. Di dalam UU NO. 23 TH.
2004 menerangkan bahwa Kekerasan dalam rumah tangga harus benar-benar ditangani
oleh pemerintah. Dahulu permasalahan dalam keluarga merupakan hal yang sangat
intim, dan tidak bisa dibicarakan pada khalayak umum. karena masalah tersebut
bersifat privasi sehingga banyak pasangan khususnya wanita akan merasa malu
untuk sekedar bercerita tentang keluarganya. Hal ini berakibat tidak adanya
respon pemerintah untuk mrlindungi hak-hak mereka sehingga menimbulkan
banyaknya korban terutama wanita dan anak-anak yang tidak tahu harus mengadu
pada siapa. Seorang ibu hanya bisa bertahan dalam intimidasi rumah tangga dan
anak harus melihat secara langsung tentang kekerasan-kekerasan yang dilakukan
baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
Kekerasan dalam rumah tangga atau biasa
disebut KDRT merupakan salah satu bentuk agresivitas. Menurut Baron dan Byrne,
agresivitas merupakan perilaku yang diarahkan untuk tujuan menyakiti makhluk
hidup lainnya yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Ada dua faktor yang menyebabkan munculnya sikap agresi yaitu :
1.
Faktor Internal yaitu adanya dorongan insting atau faktor biologis
Menurut
Freud dan Konrad Internz, keagresifan manusia merupakan insting yang di gerakan
oleh sumber energi yang selalu mengalir dan tidak selalu merupakan akibat
rangsangan dari luar. Bentuk agresi yang berupa fisik yaitu memukul, menendang,
membrontak, menggigit dan lain-lain. Swdangkan bentuk agresi yang non fisik
yaitu, mencaci maki, mengancam, menjawab dan mengkritik secara pedas, dan
lain-lain.
2.
Faktor Eksternal diantaranya yaitu :
·
Faktor keluarga : keluarga dipandang sebagai lingkungan pertama dan
utama oleh anak sebagai penentu dalam membantu perkembangan kepribadiannya.
·
Faktor lingkungan sekolah : dalam lembaga sekolah, anak belajar
untuk menuju perkembangan yang optimal. Disekolah anak-anak dapat mengeksplor
segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
·
Faktor sosial budaya : faktor ini sangat berperan dalam memunculkan
sikap agresi adalah keterasingan dan pemberontakan terhadap nilai-nilai
penolakan sosial dimana anak merasa ditolak oleh keluarga dan masyarkat
lainnya.
·
Faktor media massa : sikap agresi muncul karena reaksi emosi
terhadap frustasi, misalnya ketika seseorang dilarang melalukan sesuatu.
Tindakan agresi muncul karena adanya penguatan pada tingkahlaku sebelumnya,
tingkahlaku orang tua, tingkah laku orang lain dan media massa yang ada yng
mempengaruhi.
Dalam rumah tangga agresivitas bisa
disebut dengan KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga banyak disebabkan oleh
minimnya penghasilan keluarga sampai pada masalah hubungan seksualitas. Penelitian
yang dilakukan di Uttar Pradesh, India Utara menyatakan bahwa kekerasan dalam
rumah tangga banyak disebabkan oleh lemahnya penghasilan keluarga. Uttar
Pradesh merupakan salah satu desa di India Utara yang mempunyai populasi
penduduk paling tinggi. 80% penduduknya tinggal didesa dan 20% perempuan disana
buta huruf. Disana juga kebanyakan dari wanita menikah pada usia muda yakni
sekitar umur 15-19 tahun. Melihat dari data-data yang dipaparkan sudah bisa
menjadi bukti tentang minimnya pemberdayaan dan perlindungan wanita disana. Hal
ini juga dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Rosario Ceballo and
Cynthia Ramirez di Chili. Penelitian ini menghasilkan juga bahwa rendahnya
status sosial dan penghasilan menyababkan banyaknya kasus kekerasan dalam rumah
tangga. Pada kasus-kasus kekerasan mayoritas yang menjadi korban adalah wanita
dan anak. Dan tak jarang anak juga akan menjadi pelampiasan dalam bentuk
kekerasan. Padahal masa anak-anak merupakan waktu dimana mereka harus bisa
berinteraksi sosial dengan baik dan mengembangkan self esteem. Ada beberapa Dampak
Kekerasan pada Anak, yaitu:
A.→Dampak
pertama adalah ketegangan.
Anak senantiasa hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang dapat terjadi kapan saja serta ini menimbulkan efek antisipasi. Anak selalu mengantisipasi jauh sebelumnya bahwa kekerasan akan terjadi sehingga hari-harinya terisi oleh ketegangan.
Anak senantiasa hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang dapat terjadi kapan saja serta ini menimbulkan efek antisipasi. Anak selalu mengantisipasi jauh sebelumnya bahwa kekerasan akan terjadi sehingga hari-harinya terisi oleh ketegangan.
B.
→ Berikut adalah mengunci pintu perasaan.
Ia berupaya melindungi dirinya agar tidak tegang serta takut dengan cara tidak mengizinkan dirinya merasakan apa pun. Singkat kata, ia membuat perasaannya mati supaya ia tidak lagi harus merasakan kekacauan serta ketegangan.
Ia berupaya melindungi dirinya agar tidak tegang serta takut dengan cara tidak mengizinkan dirinya merasakan apa pun. Singkat kata, ia membuat perasaannya mati supaya ia tidak lagi harus merasakan kekacauan serta ketegangan.
C. → Kebalikan dari yang sebelumnya adalah justru
membuka pintu perasaan selebar-lebarnya, dalam pengertian ia tidak lagi
memunyai kendali atas perasaannya. Ia mudah marah, takut, sedih, tegang serta
semua perasaan ini mengayunkannya setiap waktu.
D. → Dampak berikut adalah terhambatnya pertumbuhan
anak.
Untuk dapat bertumbuh dengan regular anak memerlukan suasana hidup yang tenteram. Ketakutan serta ketegangan melumpuhkan anak serta menghambat pertumbuhan dirinya. Misalnya, dalam kepercayaan, ia sukar sekali memercayai siapa pun serta masalah ini akan memengaruhi relasinya kelak sebab ia akan mengalami kesulitan membangun sebuah relasi yang intim.
Untuk dapat bertumbuh dengan regular anak memerlukan suasana hidup yang tenteram. Ketakutan serta ketegangan melumpuhkan anak serta menghambat pertumbuhan dirinya. Misalnya, dalam kepercayaan, ia sukar sekali memercayai siapa pun serta masalah ini akan memengaruhi relasinya kelak sebab ia akan mengalami kesulitan membangun sebuah relasi yang intim.
E. → Terakhir adalah kekerasan dalam rumah tangga akan mendistorsi pola relasi.
Pada akhirnya anak rawan untuk mengembangkan pola relasi bermasalah seperti manipulatif, pemangsa, pemanfaat, serta peran korban.
Pada akhirnya anak rawan untuk mengembangkan pola relasi bermasalah seperti manipulatif, pemangsa, pemanfaat, serta peran korban.
Menurut
Weis, Self esteem merupakan evaluasi dan komponen konsep diri individu yang
efektif, yaitu merujuk pada penilain kualitatif dan perasaan yang melekat
terhadap individu yang mencerminkan diri atau juga nilai-nilai yang melekat
pada individu. Dalam hierarki Maslow, kebutuhan harga diri
terdapat dalam tingkat nomor tiga setelah kebutuhan fisiologis dan safety.
Ada 2 jenis harga diri yaitu :
1)
Menghargai diri sendiri (self respect): kebutuhan kekuatan,
penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan.
Seorang individu membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya
berharga dan mampu menguasai tugas dan tantangan hidup.
2)
Mendapat penghargaan dari orang lain (rspect from other):
kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, kebenaran, dominasi,
menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi. Individu membutuhkan
pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.
Pada masa anak-anak, self esteem ini sangat
penting untuk menunjang pendidikannya, karena seorang anak perlu rasa percaya
diri dalam bertindak untuk belajar mengenal lingkungan. Orang tua sering melihat harga diri yang tinggi sebagai yang paling
penting, yang bisa diberikan kepada anak-anak mereka. Untuk mencapai itu semua,
orang tua biasanya memberikan suatu stimulus yang positif memberikan
pesan-pesan yang mendukung. Mereka takut dengan komentar yang negatif yang akan menimbulkan suatu masalah dan akan
merusaknya dirinya. Buku tentang pola asuh anak, dokter anak, dan semua media
lainnya sangat penting untuk mendorong harga diri seorang anak.
Susan Harter(1993), telah mengeksplor harga diri dengan konsep yang
lebih kompleks pada persepsi dri. Umur anak sekolah bisa dipahami, contohnya
kemampuan sosial mereka mungkin sangat penting di bandingkan kemampuan
atletiknya. Mereka juga dapat berbeda dalam hal kemampuan belajar, perlakuan
pada tingkahlaku dan penampilan fisik.
Orangtua
dapat melakukan beberapa hal untuk membantu anak dalam mengembangkan persepsi
diri yang kuat, yaitu dengan :
ü Mendorong
anak untuk menghargai berbagai
kompetensi
ü Menerima dan
mengakui adanya kelemahan dan keterbatasan.
ü Mendorong anak
unruk berubah.
ü Memberikan
motivasi ketika mereka bekerja keras
ü Memuji atas
keberhasilan yang nyata
ü Mendorong dan
menghormati siapapun yang unggul dalam bidang yang berbeda.
Tetapi apabila anak sudah tidak mendapatkan
rasa cinta dan kasih sayang dari orang tua, maka secara tidak langsung ia akan
merasa terasingkan dan tidak lagi mempunyai harga diri yang seharusnya
ditanamkan pada mereka sejak dini.
Metodologi
Penelitian
Penelitian
ini memakai metode kualitatif dengan cara wawancara dan analisis data yang
diperoleh dari RPSA “Bima Sakti” BATU. Dikarenakan sulitnya mencari data dan
waktu yang terbatas, maka peneliti masih sampai pada proses wawancara kepada
ketua yayasan atau biasa dipanggil pak Hari yang pernah mengatasi masalah
tersebut. Menurut beliau kebanyakan anak-anak korban KDRT tidak bisa
berinteraksi dengan baik kepada sesama teman sebaya, mereka senang menyendiri
dan tidak mempunyai keinginan untuk memiliki prestasi. Tidak hanya itu,
teman-teman yang seharusnya memberikan penghargaan terhadap mereka malah
menjauh. Mungkin ini disebabkan karena anak-anak kasus korban KDRT tidak begitu
respeck dengan mereka. Peneliti juga mencari hasil dari analisis data yang
diperoleh. Dari data yang diperoleh pada
tahun 2011 ini, kasus KDRT sangat bervariasi mulai dari penelantaran anak,
kekerasan fisik sampai pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri.
Untuk penanganan kasus, pihak RPSA “Bima Sakti” memberikan intervensi yang berbeda-beda,
diantaranya:
1. Re-covery: merupakan penanganan yang
bertujuan untuk mengembalikan klien ko kondisi normal setelah mereka terkena
suatu penyakit
2. Rehabilitasi: Perbaikan menjadi normal
atau menjadi keadaan sepuas mungkin dari suatu individu yang telah terluka atau
yang menderita kelainan mental
3. Re-integrasi : pengembalian ingatan
diatas timbulnya suatu elemen perangsang yang mana merupakan bagian suatu
kompleks perangsang yang terutama menimbulkan kejadian
4. Resosialisasi
5. Reunifikasi
Dari beberapa intervensi yang diberikan,
banyak diantaranya digunakan untuk mengembalikan klien dalam perilaku
sebelumnya. Karena saat seseorang sering melihat atau mendapatkan kekerasan
dalam hidupnya maka secara tidak langsug dia akan kehilangan dirinya. Hal ini
telah disebutkan dalam teorinya Sullivan (salah satu tokoh psikiatri
interpersonal) yang menyatakan bahwa saat usia bayi, seseorang akan
mengembangkan personifikasi dalam
dirinya. Pada masa itu bayi mulai menggambarkan lingkungan atau dirinya sesuai
dengan pengalamannya. Gambaran tentang dirinya yang berkembang adalah “saya
baik” (Good Me) yang dikembangkan dari pengalaman dihadiahi. Yang kedua adalah
“saya buruk” (Bad Me) diperoleh dari rasa cemas akibat perlakuan ibu yang
menghukumnya dan yang terkhir adalah “Bukan Saya” (Not Me) ini dikarenakan
seorang bayi yang mengalami kecemasan sangat, seperti kekerasan fisik atau
mental.
Hasil
Untuk sementara dari data yang
diperoleh, penulis mennyimpulkan bahwa anak korban KDRT memilik self esteem
yang rendah. Karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pada pak Hari (Ketua
Yayasan) merupakan indikator dari self esteem dan jawaban hasil dari wawancara
menunjukan bahwa ternyata KDRT mempengaruhi self esteem anak. Oleh karena itu,
perlu adanya pendampingan dan penguatan emosi untuk memulihkan kondisi anak
agar mereka dapat mengenali dirinya sendiri dan mengembangkan prestasi yang
terpendam.
Referense
Alwisol.
2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM
Press
Anshori,
Hafi. 1996. Kamus Psikologi. Surabaya:
Usaha Nasional
Saifuddin
Ahmed, MBBS, Michel A. Koening, Rob Stephenson.2006. Effect of Domestic Violence on Perinatal and Early Childood Mortality:
Evidence From North India. American: American Journal of Publict Health
Rosario
Ceballo, Cynthia Ramirez, Marcela Castillo, Gabriela Alejandra Caballero and
Betsy Lozoff. 2004. Domestic Violence And
Women’s Mental Health In Chile. USA: Psychology of Women
Quarterly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar