SELAMAT MEMBACA

Kamis, April 19, 2012

Agama dan Fisafat (Al-Farabi)


Al-Farabi telah menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip tertinggi wujud. Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang diciptakan demi manusia yaitu, kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan al-Farabi, filsafat memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.
Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Menurut al-Farabi, agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang.
Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta. Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut al-Farabi sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara umum, menurut al-Farabi, agama berusaha membawa tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Perbedaan ini diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat-agama, Yunani-Romawi dalam perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
Dalam perspektif falasifah, filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Farabi tentang filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan din. Ini menunjukkan kehendak Al-Farabi membedakan filsafat secara kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah daripada din. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik komunitas religius ini.
Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhan al-yaqini), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis (istinbath) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqna’).

Tidak ada komentar: