Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya di dalam Al-Qur'an dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ijtihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata: "Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu." Umar pernah mengatakan: "Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar." Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Mu'az bin Jabal, Ubay bin Ka'b, dan Zaid bin Sabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid-mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, AbdulIah bin Abbas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad keempat Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa semua masalah telah ditetapkan hukumnya oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang telah disepakati oleh fukaha terdahulu. Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (mujtahid mustaqilt). Yang ada hanya mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam-imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir serta tokoh-tokoh pembaharu sesudahnya, seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida.
Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya persoalan yang dihadapi umat akibat pengaruh perubahan yang begitu pesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar