SELAMAT MEMBACA

Senin, Maret 19, 2012

Perkembangan Ijtihad

Ijtihad dalam sejarah dan perkembangannya, telah ada sejak zaman Ra­sulullah SAW .Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al-Qur'an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah SAW itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, turun wahyu untuk meluruskan kesalahan itu. Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan Perang Badr. Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah SAW berta­nya kepada sahabat-sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. Umar bin Khattab menjawab: "Tawanan perang itu hendaknya dibunuh," sedangkan Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar fidyah (denda). Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan bahwa tawanan perang itu dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini merupakan ijtihad Rasulullah SAW meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-Anfal ayat 61-69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah SAW. Adapun contoh ijtihad Rasululah SAW yang salah ialah keputusannya tentang pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah at-Taubah ayat 43—45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah SAW.
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya di dalam Al-Qur'an dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ij­tihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata: "Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu." Umar pernah mengatakan: "Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar." Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Mu'az bin Jabal, Ubay bin Ka'b, dan Zaid bin Sabit.
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid-mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, AbdulIah bin Ab­bas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Setelah abad keempat Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa semua masalah telah ditetapkan hukumnya oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang telah disepakati oleh fukaha terdahulu. Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (muj­tahid mustaqilt). Yang ada hanya mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam-imam mazhab sebelumnya).
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir serta tokoh-tokoh pembaharu sesudahnya, se­perti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad bin Ab­dul Wahhab,  Muhammad Abduh, dan Muham­mad Rasyid Rida.
Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad. Hal ini dise­babkan karena semakin banyaknya persoalan yang dihadapi umat akibat pengaruh perubahan yang begitu pesat.

Tidak ada komentar: