SELAMAT MEMBACA

Senin, Maret 19, 2012

Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan

Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan manusia kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya.
Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan Allah.
Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena: Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.
Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim, maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban muslimin.
Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash?
c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi?
d. Siapa yang berhak untuk berijtihad?
Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi.
Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad? Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.
Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ {التوبة/122}
 "Tidak sepatutnta bagi orang – orang yang Mu’min itu pergi semuanya ( ke medan perang ) Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya." (al-taubah ; 122)
Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta pengertian sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini

Tidak ada komentar: