As Sunnah ( hadits nabi saw.)
merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara
faktual dan ideal. Hal ini mengingatkan bahwa pribadi Nabi saw. Merupakan
perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam
yang di jabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Makna seperti itulah yang yang
dipahami oleh Ummul-mukminin Aisyah r.a dengan pengetahuannya yang mendalam dan
perasanya yang tajam serta pengalaman hidupnya bersama Rasulullah saw.
Pemahamannya itu dituangkan dalam susunan kalimat yang singkat, padat, dan
cemerlang, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang
akhlak Nabi saw.: “ Akhlak beliau adalah Al Qur’an !”
Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin
mengetahui tentang manhaj (methodology) praktis Islam dengan segala
karakteristik dan pokok-pokok ajarannya , maka hal itu dapat dipelajari secara
rinci dan aktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan dan
persetujuan Nabi saw.
Manhaj
Komprehensif
Manhaj Islam tersebut mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia dalam dimensi “panjang”,”lebar”, dan “dalam”-nya.
Yang dimaksud dengan “panjang”
disini adalah rentangan waktu secara vertikal, yamg meliputi kehidupan manusia,
sejak saat kelahiran sampai kematiannya, bahkan sejak masa kehidupannya sebagai
janin sampai setelah kematiannya.
Adapun yang dimaksud dengan “lebar”
di sini adalah rentangan horizontal yang meliputi seluruh aspek kehidupannya,
sedemikian sehinnga petunjuk Nabi (hidayah nabawiyyah) senantiasa bersamanya:
di rumah, di pasar, di masjid, di jalanan, dalam pekerjaannya, dalam
hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dan segenap
manusia sekitarnya, yang muslim maupun yang non-muslim, bahkan dengan semua
manusia, hewan dan benda mati.
Sedangkan yang dimaksud dengan
“dalam” di sini adalah dimensi yang berkaitan dengan “kedalaman” kehidupan
manusia, yaitu tang mencakup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir dan batin,
serta ucapan, perbuatan dan niatnya.
Manhaj
yang Seimbang
Ciri lain dari manhaj ini adalah
“keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu,
antara dunia dan akhirat, antara perumpamaan dan kenyataan, antara teori dan
praktik, antara alam gaib dan kasatmata, antara kebebasan dan tanggungjawab,
anrata perorangan dan kelompok, antara ittiba’ (mengikuti apa yang dicontohkan
oleh nabi saw.) dan ibtida’ (menciptakan sesuatu yang baru yang tidak ada
contohnya dalam sunnah beliau), dan seterusnya.
Dengan kata lain, ia merupakan
manhaj yang bersifat “tengah-tengah”
(yakni umat islam sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah,
ayat 143).
Karena itu, setiap kali Nabi saw.
Melihat para sahabatnya condong kea rah “berlebihan” atau “kekurangan” (dalam
berbagai aspek dikehidupan mereka), maka beliau segera mengembalikan mereka dengan kuat ke arah tengah (moderasi),
sambil memperingatkan mereka akan akibat buruk dari setiap ekstremitas (dalam
melaksanakan sesuatu atau dalam mengabaikannya).
Itulah sebanya beliau menyatakan
ketidaksenangannya kepada ketiga orang yang menanyakan ibadah beliau, lalu
rupa-rupanya mereka menganggapnya terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan
keinginan keras mereka untuk memperbanyak ibadah. Seorang dari mereka hendak
berpuasa terus-menerus setiap hari (shiyam ad-dahr). Seorang lagi hendak qiyam
al-lail atau begadang sepanjang malam untuk shalat. Dan yang ketiga hendak
menjauhi perempuan dan tidak akan menikah. Maka ketika mendengar ucapan mereka
itu, nabi saw. Bersabda:
“Sungguh
aku ini adalah yang paling penakut, di antara kamu, kepada Allah, dan paling
bertakwa kepada-Nya. Tetapi ada kalanya berpuasa dan tidak berpuasa, bershalat
dimalam hari dan tidur, dan mengawini perempuan. Maka barang sipa yang menjauh
dari sunnah-ku, ia tidak termasuk golonganku.
Dan tak kala melihat Abdullah bin
‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, berqiyamullail dan ber-tilawat Al-Qur’an,
nabi saw. Memerintahkannya agar melakukan semua itu dengan sedang-sedang saja,
tidak berlenih-lebihan. Sabda beliau:
“Sungguh
adanmu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk beristirahat), matamu mempunyai hak
atas kamu (yakni untuk tidur), isterimu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk
disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para tamumu mempunyai hak
atas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang), maka berikan hak-hak
itu kepada masing-masing.”
Manhaj
Memudahkan
Di antara ciri-ciri lainnya dari
manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan kelapangan. Seperti juga diantara
sifat-sifat Rasul ini yang tercantum dalam kitab-kitab suci terdahulu – taurat
dan injil – bahwa ia “… menyuruh mereka mengerjakan apa yang ma’ruf dan
melarang mereka yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka…” (Al-A’raf:157)
Sifat seperti itulah yang
menyebabkan tidak adanya sesuatu dalam sunnah Nabi ini yang menyulitkan manusia
dalam agama mereka, atau memberati mereka dalam dunia mereka. Bahkan beliau
pernah bersabda tentang dirinya sendiri:
“Sesungguhnya
aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (untuk seluruh manusia).”
Ucapan ini merupakan penafsiran bagi
firman Allah SWT:
“
Tiadalah kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi
semesta alam” (Al-Anbiya’:107)
Dan beliau telah bersabda pula :
“
Sesungguhnya allah tidak mengutusku sebagai seorang yang mempersulit atau
mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi aku diutus oleh-Nya
sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.”
Dan ketika mengutus Abu Musa dan
Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mereka berdua dengan sebuah pesan yang
ringkas namun padat:
“Permudahlah
dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka
menjauh, dan berusahalah kalian berdua untuk sepakat dan jangan bertengkar.
Pernah juga beliau menunjukkan
sabdanya kepada umatnya:
“Permudahlah
oleh kalian dan jangan mempersulit< gembirakanlah dan jangan membuat orang
pergi menjauh!”
Dan
tentang misi yang dibawanya, beliau berkata:
“Sesungguhnya
aku ini diutus dengan al-hanifiyyah as-samhah (yakni jalan hidup yang lurus dan
lapang).”
Sunnah Nabi saw. Adalah manhaj yang
terperinci bagi kehidupan seorang muslim dan masyarakat muslim. Yaitu manhaj
yang sebagaimana yang yelah dikemukakan merupakan penafsiran dari Al Qur’an
dalam praktik atau Islam dalam penjabarannya secara kongkret.
Dalam kenyataanya, Nabi saw.
Merupakan pemberi penjelasan bagi Al Qur’an, dan beliau pulalah yang
mengaktualisasikan ajaran Islam, dengan ucapan dan tindakannya, bahkan dengan
seluruh perilakunya, di dalam rumah ataupun di luarnya, di tempat kediamannya
ataupun dikala bepergian jauh, di waktu tidurnya atau ketika terjaga, dalam
kehidupan pribadinya ataupun di antara khalayak., dan hubungannya dengan Allah
SWT ataupun dengan masyarakat, bersama mereka yang dekat hubungan
kekeluargaannya ataupun yang jauh, kawan ataupun lawan, dalam masa damai
ataupun perang, dan dalam saat-saat aman sejahtera ataupun ketika dalam
percobaan dan kesulitan.
Adalah kewajiban kaum muslim untuk
memahami manhaj nabawi yang terinci ini, dengan semua cirri khasnya yang
komprehensif, saling melengkapi, seimbang dan penuh kemudahan. Serta
prinsip-prinsip Ilahiah yang yang kukuh, kemanusiaan yang mendalam, dan
aspek-aspek budi pekerti luhur yang kesemuanya jelas tampak di dalamnya.
Hal ini pula yang mengharuskan kaum
muslim berusaha untuk memaham sunnah yang mulia ini dengan sebaik-baiknya dan
berinteraksi dengannya dalam aspek hukum dan moralnya, sebagaimana yang telah
dilakukan oleh generasi muslim terbaik : para sahabat serta tabi’in yang
mengikuti mereka dalam kebaikan.
Krisis utama yang dihadapi kaum
muslim masa kini adalah mendahului krisis kesadaran hati nurani. Contoh terbaik
yang menunjukkan hal tersebut adalah adanya krisis dalam memahami sunnah dan
bagimana berinteraksi dengannya. Terutama yang tampak pada sebagian aliran yang
(maunya ) mengacu pada “kebangkitan kembali Islam”, dan yang sesunggunya sangat
diharapkan dan didambakan oleh umat diseluruh penjuru, di Barat maupun Timur.
Tidak jarang mereka inilah yang (sayangnya) terjerumus ke dalam kekeliruan,
akibat kurangnya pemahaman mereka terhadap Sunnah yang suci ini.
Hadits dalam Islam memiliki
kedudukan yang sangat urgen Di mana hadits merupakan salah satu sumber hukum
kedua setelah Al Qur’anakan sulit dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Al
Qur’an tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah
hal yang tidak mungkin, karena Al Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan
hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits di samping Al Qur’an sebagai sumber
ajaran Islam, maka Al Qur’an merupakan sumber hukum pertama, sedangkan hadits
merupakan sumber kedua. Bahkan sulit untuk dipisahkan antara Al Qur’an dan
hadits, karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al Qur’an merupakan wahyu
matlu dan adalah wahyu ghoiru matlu.
Banyak dalil qath’i yang menunjukkan bahwa hadits merupakan
sumber hukum yang dijadikan hujjah dalam agama, baik dari Al qur’an, sunnah
maupun ijma’ ulama. Dalam nash Al Qur’an, banyak ditemukan ayat-ayat yang mengandung perintah patuh
kepada Allah dan Rasul-Nya, menerima semua yang bersumber dari dari Rasul, dan
pasrah dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi saw.
Suatu kewajiban sebagaimana patuh
kepada Allah swt. Juga perintah menerima segala yang bersumber dari rasul
secara keseluruhan, baik yang sejalan dengan perintah Allah swt dalam al Qur’an
maupun tang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah swt.Demikian pula ukuran
keimanan seseorang terlihat dari kepatuhannya terhadap hukum yang telah ditetapkan
oleh rasulullah saw.
Untuk melihat lebih rinci kehujjahan
al sunnah dapat dilihat apa yang telah ditulis oleh Abdul Kholiq dalam bukunya
Hujjiyah al sunnah yang mengatakan , bahwa kehujjahan sunnah dapat dipahami
dari beberapa aspek, yaitu:
1.
Ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari kesalahan)
Tugas
Rasul sebagai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati-hati dalam
bertindak.Hal itu disebabkan karena segala tindak tanduk dan tutur kata beliau
selalu menjadi acuan dan panutan bagi umatnya.Keterjagaan tersebut bisa dalam
bentuk bimbingan langsung atau dalam
arahan setelah bertindak.
2.
Sikap
sahabat terhadap sunnah
Sikap
para sahabat yang selalu patuh dan tunduk dengan perintah Rasulullah saw
memberikan satu indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan
Rasulullah,itu jga disebut hujjah.Jika
ada yang dilakukan nabi dirasa aneh atau menyimpang maka mereka akan
menanyakan hikmah yang terkandung di dalam perintah atau larangan tersebut.
3.
Al-quran
Banyak
ayat yang memerintahkan untuk patuh,taat dan mengambil apa yang dilakukan
rasulullah.an-nisa 136;65,al-nahl 44 dan al maidah 92
4.
As-sunnah
Terdapat
pula hadid yang menjalaskan kehujjahan Rasulullah.
5.
Kebutuhan
al-Quran terhadap al-sunnah
Al-Quran
tidak akan dapat dipahami secara sempurna tanpa adanya al-sunnah.Ayat-ayat
al-Quran yang sebagian besarnya bersifat global sangat membutuhkan penjelas
yang dapat menjalaskan maksudnya dan perinci yang dapat merinci
detailnya.Seeorang tidak akan dapat memahami ayat dengan benar tanpa merujuk
pada al-sunnah.Ibn mas’un mengatakan,’’tidak ada satu masalahpun kecuali telah
dijelaskan oleh allah dalam al-Quran.Namun karena pemahaman kita terhadap
al-Quran terbatas,maka allah mengutus Rasul-Nya untuk menjelaskan maksud dari
ayat-ayat-Nya.
6.
Realitas
sunnah sebagai wahyu
Sebagaimana
yang di singgung di atas,bahwa wahyu yang disampaikan Allah kepada nabi-nya ada
yang berupa dhohir(terjaga dan terpelihara dari kesalahan).Wahyu dalam bentuk
ini ada yang muta’abbid
bitilawatihi(dinilai pahala bagi yang membacanya)dan berupa mukjizat,dan ada
yang tidak demikian.Wahyu yang berupa mukjizat dinamakan al-Quran dan yang bukan mukjizat diistilahkan
hadis,baik qudsi ataupun nabawi.Dapat disimpulkan bahwa hadis nabi yang berupa
ucapan,perbuatan dan persetujuan pada hakikatnya bersumber dari wahyu ilahi.
7.
Ijma’
Jika
kita lihat sumber-sumber agamadan sejarah para salaf maupun kholaf kita akan
dapat semacam kesepakatan untuk mengambil hadis nabi sebagai hujjah dan
landasan hukum.Nyaris tidak kita dapat satupun dari para ulama maupun para
mujtahid yang mengingkari kehujjahan al-sunnah al-nabawiyyah.
Status sunnah sebagai Hujjah
Sunnah
adalah sumber hukum Islam yang kedua. Oleh kerena itu, kewajian mengikuti,
kembali, dan berpegang teguh pada sunnah merupakan perintah Allah SWT dan juga
perintah Nabi saw, pembawa syari’at yang agung. Petuah itu tertuang dalam
firman-Nya,
“ Dan taatlah kamu kepada Allah dan
taatlah kamu kepada Rasul (nya) dan berhati hatilah,”(QS. Al Maidah:92)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah,” (QS. An-Nisaa’ : 80).
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah,” (QS.
Al-Hasyr:7)
Berdasarkan
dalil-dalil di atas, maka orang-orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah,
dengan dalil cukup mengamalkan Al Qur’an, sungguh mereka itu terlalu kecil dan
rendah. Mereka benar-benar telah terjerumus ke dalam kebathilan dan kesalahan.
Seruan mereka agar taat kepada Allah dan mengikuti Al Qur’an, tanpa mengikuti
sunnah, itu merupakan perbuatan maksiat dan bid’ah.
Al
Qur’an secara tegas menyebutkan, bahwa orang-orang yang tidak mau mendasarkan
hukum-hukumnya dan mengembalikan segala persoalannya kepada Rasulullah saw,
serta tidak mau tunduk dan patuh secara total terhadap hukum-hukum dan
perintah-perintahnya dengan penuh kesadaran, adalah termasuk orang-orang yang
tidak beriman. Firman Allah SWT:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya,” (QS, an-Nisaa’ : 65).
Tidak ada konotasi makna lain dari mengambil
hukum dan kembali kepada Nabi saw selain kembali dan tunduk kepada sunnahnya.
Al Qur’an menunjukkan kepada kita,
bahwa tidak ada pilihan lain bagi oranf mukmin untuk memilih hukum yang laun
selain hukum-hukum Allah dan hukum-hukum RasulNya. Orang yang melanggar hukum
Allah dan hukum RasulNya disebut durhaka. Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasulnya
telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada lagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka
sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata,” (QS. Al-Ahzaab:36).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar