SELAMAT MEMBACA

Senin, Mei 14, 2012

Analisis Wacana,Teknik Membongkar Ideologi Kata-kata






P E N G A N T A R
Rangkaian kata yang terucap dalam bentuk pendapat, tulisan yang disajikan sebagai ulasan sejarah, narasi deskripsi peristiwa (berita), puisi, cerita pendek, novel dan ilmu pengetahuan yang dibentuk berdasarkan logika rasional serta kesadaran dalam kegiatan psikologis sekalipun, dalam konteks analisis wacana merupakan arsip (dokumen) yang tidak "bebas nilai". Mereka tersusun dalam bentuk wacana yang menggambarkan adanya gelora hasrat, kebutuhan, motivasi, atau cita-cita ideologi subyek pembentuknya.
Wacana adalah medium teknis subyek (komunikator) dalam menyampaikan pesan kepada khalayak. Wacana juga menggambarkan adanya hubungan linier dengan penuturnya. Wacana hadir berbicara menurut pengarangnya. Susunan kalimat yang terbentuk dalam berbagai kaidah bahasa (gramatikal atau sintaksis) tunduk pada kepentingan penuturnya sehingga rangkaian kata-kata itu terbentuk. Wacana tidak bisa dilepaskan dari cara subyek (komunikator) mengada. Wacana juga menjelaskan bekerjanya sistem psikolinguistik penuturnya, kondisi sosio-linguistik kemanusiaan dan tentang asal usul penuturan dan konteks.
Analisis wacana adalah metode yang ingin mendudukkan bahasa, kata-kata atau karangan kepada pemilik aslinya untuk memperoleh gambaran detail bagaimana sebuah realitas itu disampaikan dan kalimat itu akhirnya hadir di ruang publik komunikan (penerima pesan).
Dalam analisis wacana (kritis), struktur itu menggambarkan hasrat relasional nilai dominasi yang diwakili menjadi kaidah bahasa baku. Pembakuan itu tidak sekedar obyektifikasi namun menunjukkan adanya hasrat manusia yang ingin juga diwakili dalam aturan bahasa. Kaidah bahasa adalah normalisasi kehendak dan kepentingan kelompok tertentu yang mengatur cara orang lain bertutur sapa. Dan karenanya kesempurnaan kaidah bahasa merupakan pembakuan wewenang kekuasaan yang terdapat dalam cakupan gramatikal itu, dan menyingkirkan bahasa orisinil masyarakat atau yang terpinggirkan, yang tidak teratur, arbiter dan suka-suka. Oleh karena itu perhatian analisis wacana berusaha menjelaskan makna bahsa yang bekerja melayani kepentingan sosial, ideologi dan politik. Mengapa demikian, karena makna hadir sebagai pemahaman wacana yang tertulis dalam suatu rangkaian kalimat pada dasarnya merangkai peristiwa psikologis seperti perasaan, pikiran, dan tempat pengarang di masyarakat (Fox, 2005).

DASAR-DASAR ANALISIS WACANA
Pengertian Dasar
Sebelum mengelangkah mendiskusikan analisis wacana alangkah baiknya dilihat terlebih dahulu bagaimana definisi wacana pada umumnya. Wacana didefinisikan cukup beragam, namun di sini akan diambil dua definisi wacana yakni, yang pertama wacana menurut Badudu (Eriyanto, 2001) terdiri dari dua wilayah yaitu
1) rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu, 2) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis
definisi kedua dari wacana mari kita bandingkan dengan penjabaran Foucault (Eriyanto, 2001) bahwa yang disebut wacana adalah ;
kadang-kadang sebagai bidang dari semua pernyataan, kadang-kadang sebagai sebuah individualisasi kelompk pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
Kedua definisi memiliki karakter berbeda, namun dalam konteks pembahasan disini wacana merupakan senarai makna yang tersusun atas rangkaian struktur pesan yang hadir di hadapan orang dan ia memiliki unsur-unsur tujuan dan ungkapan yang bisa ditangkap oleh orang lain, sementara pesan itu membawa sejumlah asumsi pemiliknya dan tujuan-tujuan kuasa sehingga mampu membentuk koherensi pernyataan tertentu.
Istilah wacana menunjukkan suatu wilayah pengertian "yang disampaikan melalui kebudayaan, sehingga istilah ini mencakup bagian dari percakapan dan penulisan, komunikasi nonverbal dan melalui gambar serta perumpamaan yang artistik dan puitis" (Parker, 2005).
Wacana adalah gambaran sirkularitas produksi makna yang dihadirkan melalui bentuk-bentuk komunikasi, bahasa verbal, nonverbal, seni, atau simbol-simbol baik laten atau umum. Melaui medium ini seseorang merasa telah mengembangkan dan "mengekspresikan" kepribadiannya sehingga setiap gerak, ucapan, tulisan, kreasinya ditetapkan sebagai indentitas sesungguhnya sebagai definisi yang digunakan untuk menegaskan posisi subyek. Pembentukan identitas semacam ini merupakan wilayah kompetitif kemanusiaan sebagai praktik wacana sedang dibentuk oleh seseorang. Artinya bahwa eksistensi seseorang merupakan produksi-produksi wacana yang terus menerus dilanjutkan dalam kerangkan kuasa dan pengetahuan sehingga fenomena kesehariannya menjadi logis dan rasional.
Disini dapat dikatakan wacana merupakan nilai-nilai keseharian yang terpaut dengan dasar-dasar komunikasi antarmanusia yang membentuk berbagai strategi pengujaran berdasarkan kesukaan masyarakat tertentu. Menurut Fairclough (2003) wacana merupakan satu praktis sosial yang tidak berdiri sendiri. Wacana sebagai praktis sosial ia melibatkan sub-sub pembangian makna yang didasari oleh kondisi suatu produksi, atau kondisi sosial suatu interpretasi. Ia terdiri dari tiga spesifikasi dan dapat dikembangkan untuk melihat kontekstual wacana. Wacana sebagai praktik sosial mencakup tiga tingkatan kegiatan, 1) situasi sosial atau lingkungan sosial di mana wacana itu terjadi, 2) tingkatan institusional di mana terdapat acuan luas diskursus, 3 tingkat masyarakat sebagai keseluruhan.

KONTEKS KINERJA ANALISIS WACANA

Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis
Sedangkan yang dimaksud analisis wacana didefinisikan sebagai perangkat metode penelitian yang melihat sistem bahasa tersusun sebagai gambaran yang menjelaskan keterkaitan antara wacana dengan komunikator dan komunikan. Definisi analisis wacana seperti ini bersifat konstruktivis dan positifis yang mendudukkan wacana dalam bingkai linguistik an sich, hanya melihat bagaimana permaian kata-kata dalam bahasa mencerminkan fungsi koherensinya dengan penuturnya. Dalam pengertian ini saya tidak akan mengulas terlalu banyak karena aspek analisis ini lebih konvensional dan biasa digunakan di dalam kegiatan penelitian linguistik tertentu, semisal melihat bahasa sebatas sebagai representasi komunikasi yang mengungkapkan kenyataan yang demikian adanya (the real reality).
Pengertian lain menggeser penerapan analisis wacana tradisional dan menggerakkannya menjadi analisis wacara kritis (critical discourse analysis) atau disingkat CDA. Pendekatan CDA digunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan seperti apa signifikansi penemuan ideologis (Orpin, 2005) sehingga metode CDA sangat cocok dalam menyediakan kerangka yang bisa dipakai untuk menganalisis hubungan bahasa dan ideologi (Fairclough, 2003). Menurut pendekatan Hallidayan, CDA secara umum merupakan wilayah yang tercakup dalam analisis linguistik yang mendekati bahasa pada akar-akar sosiolinguistik dengan teori-teori yang terhubung ke dalam narasi yang memediasi ideologi yang terkait pada struktur-struktur kuasa di masyarakat (Orpin, 2005).
Cara kerja analisis wacana ini bersifat mengeksplorasi drama interpretasi (interpretive repertoires), yaitu mencari penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda itu sehingga kontradiksi itu menjadi jelas atau ideologi-ideologi praktis (practical ideologies) (Gill, Henwood, & Mclean, 2005; Parker, 2005) yang membentuk sebuah ujaran atau pengetahuan tentang kepribadian, sejarah, tulisan, seni, keindahan, moralitas, pendapat dan lain-lain. CDA memprioritaskan cakupan penelitian pada dimensi bahasa dan kekuasaan sebagai presentasi makna wacana tertentu. Apa yang hendak diperoleh adalah mengungkap penyembunyian makna dalam teks yang bertujuan menutupi kehendak sebenarnya dari seorang penutur karena teks bukanlah kehadiran yang sudah matang dan total akan tetapi mencitrakan gelagat psikologis penuturnya dan merupakan wujud kehadiran yang lain dalam beragama tanda-penanda. Teks bisa menjadi gambaran tentang kehadiran dan sebaliknya menutupi ketidakhadiran. Bagi Derrida untuk membongkar selubung tanda-penanda dari teks itu yang mencoba menutupi seluruh kerangka pengarangnya harus dihancurkan (didekonstruksi) sehingga tirani "pengarang" bisa diruntuhkan di dalam menghegemoni logosentrisme teks atau wacana itu sendiri (lihat. Fayyad, 2006) karena wacana menggambarkan kuasa pengetahuan yang mencoba melihat bagaimana ingatan, atribusi, dan fakta--yang mengakomodasi atau menyingkirkan liyanin liyan--disusun dalam pembicaraan orang, ilmuan, agamawan, profesional, dan sebagainya (Parker 2005).
Penggunaan pendekatan CDA merupakan peluang untuk mengungkap dimensi-dimensi dibelakang wacana yang sudah terealisasi dalam kognisi dan afeksi masyarakat karena wacana hadir membentuk kesatuan makna serta memiliki hukum yang berbicara secara tidak otonom. Wacana akan mewakili kekuatan kuasa pengentahuan baik di segmen ekonomi, sosial budaya termasuk agama, pribadi-pribadi, kepentingan status quo sehingga CDA paling tidak menjadi lokomotif analisis yang membebaskan struktur pengetahuan dari penyadaran yang diterima di dalam sistem dominasi, penindasan, ketidakadilan, dan subordinasi. Kehadiran wacana selalu ditangkap dalam kerangka berbeda-beda karena mencerminkan relasi ideologis pengetahuan. Wacana berarti bagian dari kegiatan dramaturgi sekaligus ditegaskan bahwa tak ada penuturan atau wacana itu yang obyektif karena ia selalu terpaut dengan kehendak pengarangnya terhadap apa yang didinginkan dan tidak diinginkan. Wacana adalah mesin hasrat, meminjam frase Guattari.
Tiga Karakter Analisis Wacana Kritis
Sebagai kerangka metodologis, analisis wacana kritis berkerja mengkritisi struktur positivisme dan konstruktivisme yang menetapkan obyektifitas ilmu pengetahuan berdasarkan rasionalitas logis yang ditentukan atas dasar kaidah-kaidah keseragaman epistemologis. Menurut sudut pandang CDA obyektifitas rasional logis dibentuk karena memfasilitasi rasional instrumental yang dikendarai oleh materialisme positif karena tujuan-tujuan pragmatisme dengan menafikan atau menghilangkan jejak pengarang sebagai sesuatu yang tidak penting hadir dalam wacana publik. Padahal kehadiran wacana merupakan medium yang mencoba memfasilitasi kehendak pengarangnya namun, obyektifitaslah yang kemudian dijadikan sketsa untuk menutupi sebuah kehadiran yang tidak lagi penting.
Menurut Parker (2005) karakteristik analisis wacana kritis dipetakan menjadi tiga metode kinerja yakni, pertama, dari variabilitas menuju kontradiksi. Karakteristik ini mencoba menggali perbedaan wacana dengan pribadi sebagai satu kesatuan yang saling kontradiksi, bukan sebagai kenyataan perbedaan itu sebagai sebuah pluralitas tetapi lebih sebagai kontradiksi yang saling terkait dengan perjuangan, kekuasaan dan dekonstruksi wacana dalam praktik (Parkter 2005). Alat sukses untuk mengetahui kontradiksi tidak lain dengan jalan dekonstruksi, membongkar wacana dan pertautannya dengan latar belakang bagaimana wacana itu diproduksi. Kontradiksi ini menangkap asumsi tak terpikirkan dalam membaca teks. Tujuannya untuk mengetahui apa yang diistimewakan dan sesuatu negatif yang disembunyikan menjadi jelas adanya. Parker (2005) menegaskan,
"ahli analisis wacana akan selalu berurusan dengan ketidakkonsistenan, dan variasi dalam laporan. Hal ini bukan untuk membatasi individu, tetapi mengarahkan kita pada keragaman dan penggalan-penggalan makna yang seringkali kontradiktif, yang ada secara bersama-sama dalam wacana khusus" (hal. 301).
Karakteristik kedua dari konstruksi menjadi konstitusi. Karakteristik ini menampilkan bahwa sebuah wacana, hasil transliterasi wawancara penelitian atau observasi tersusun secara arbiter dan menunjukkan hubungan kata-kata membentuk suatu kegiatan diskursif (bagian dari praktik pewacanaan) yang akan mengarah ke bentuk semata-mata dahulu disebut sebuah bangunan pengetahuan, namun pada perspektif analisis wacana dia mempresentasikan regulasi maksud-maksud yang diinginkan oleh pengarangnya. Misalnya film G 30 S PKI merupakan konstitusi kebenaran terhadap tafsir tunggal penulisan sejarah. Dia kemudian menjadi alat kontrol yang menyeragamkan langsung wilayah manusiawi dan masalah alegoris apa yang nampak di permukaan. Analisis wacana dengan demikian menegaskan bahwa "makna sebagai sesuatu yang selalu didefinisikan oleh konteks" (Parker, 2005). Wacana yang semula dimaksudkan ingin menyusun kaidah tertentu,
Ketiga, dari fungsi menuju kekuasaan. Wacana didasarkan oleh nilai yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan dominasi di saat mana sebuah relasi dipaksa harus menghegemoni dan di saat yang lain harus bungkam. Artinya wacana dilihat dari wilayah siapa yang menang dan pada sisi yang lain siapa yang seharusnya dikalahkan. Wacana didalam bagian ini memiliki karakteristik penuturannya akan memihak pada salah satu carapandang tertentu untuk selanjutnya digunakan sebagai satu-satunya kekuatan dalam menjelaskan realitas yang ada. Wacana dengan demikian dapat digunakan sebagai alat yang lain mengontrol yang lain.
Sementara menurut Eriyanto (2001) karakteristik analisis kritis sebagai praktik sosial dapat digolongkan menjadi lima hal yaitu bahwa wacana itu dipahami sebagai sebuah 1) tindakan, artinya orang berbicara bukan untuk dirinya sendiri tetapi sedang berinteraksi dengan orang lain; 2) tercakup didalamnya konteks penuturannya seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. "Bahasa selalu memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi dan lain sebagainya (hal.9); 3) historis, salah satu cara untuk mengerti maksud kerangka teks itu kita harus berpikir dan mengembalikan cakupannya pada historis tertentu, 4) kekuasaan, bahwa teks hadir tidak dengan sendirinya, alamiah, netral, begitu saja melainkan hasil dari pertarungan kekuasaan; 5) ideologi, yakni wacana berlanjut dalam kerangka menindaklanjuti keinginan sebuah ideologi tertentu dan berusaha mendukung serasional dan selogis mungkin epistemologinya untuk memperkokoh ideologi tersebut.


 P E N U T U P

Analisis wacana kritis merupakan cara membongkar kaidah-kaidah pengetahuan agar memiliki koherensi dengan cita keadilan dan perubahan sosial yang berarti karena di dalam wacana fungsi-fungsi laten kuasa pengetahuan dibentuk secara tersembunyi, namun dengan kuat membentuk kognisi sosial masyarakat tentang kebenaran. Analisis wacana kritis ingin membongkar pembakuan kebenaran semu menjadi bergeser ke arah kebenaran kritis yang dinegasikan dengan mencari interkoneksi teks, konteks, dan penuturnya untuk dipertentangkan sehingga ditemukan hasrat laten bagaimana ideologi pengetahuan itu dipancangkan.
Analisis wacana tidak saja mengajak orang untuk menyadari realitas pengetahuan tertentu tetapi melihat lebih mendalam bagaimana konstruksi itu digunakan untuk melanggengkan hegemoni wilayah-wilayah kuasa pengetahuan yang digunakan orang, kelompok dan negara. Analisis wacana selain sebagai metode penelitian yang tidak lebih dari sekedar mengotak-atik kata-kata menjadi kekuatan melakukan tindakan melawan penindasan, subordinasi, marjinalisasi, kolonisasi dan fragmentasi rasial yang penuh dengan ketimpangan.
Dalam konteks forum ini, kiranya tidak cukup untuk mengenal mendalam bagaimana analisis wacana digunakan dalam penelitian dan semangat melakukan perlawanan kritis untuk mewujudkan sebuah pengetahuan yang emansipatoris. Untuk tahap awal pengenalan, disarankan membaca buku Eriyanto (2001) dengan judul Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta.


 

[1] Artikel ini disampaikan pada acara Pelatihan Kader Dasar PMII Universitas Islam Malang (UNISMA) di Aswaja Center Batu, 1 Juli 2006.

Tidak ada komentar: