SELAMAT MEMBACA

Senin, April 09, 2012

Syarat-syarat mengqashar shalat


1.    Menempuh jarak tertentu
Demikian menurut kesepakatan ulama.
Jarak qashar menurut madzhab Hanafi : 24 farsakh pergi saja. Kurang dari jumlah tersebut tidak boleh qashar. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 191)
Menurut imamiyah : 8 farsakh pergi, atau jarak pulang pergi, dengan catatan kembali pada siang atau malamnya ,sebab dengan demikian perjalanan itu telah menyibukkannya sehari penuh. Dan sebagian ulama imamiyah mengatakan juga bahwa orang wajib mengqashar shalatnya jika bermakssud akan kembali sebelum sepuluh hari. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192)
       Sedangkan menurut madzhab Hanbali, Maliki dan Syafi’i : jarak yang diperbolehkan mengqashar shalat itu adalah 16 farsakh pergi saja. Dan diperbolehkan kalau jarak itu kurang dua mil dari jumlah yang ditentukan. Bahkan Maliki mengatakan : diperbolehkan kalau 8 mil dari jumlah jarak yang ditentukan tadi. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192)
       1 farsakh adalah 5040 meter, demikian menurut AL-Fiqh ‘alal madzhadhibi arba’aj, jilid IV, bab: Mabhats Syurutush-Shaleh. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192)
       Berdasarkan hitungan ini, maka jarak yang telah ditetapkan oleh madzhab Hanafi dalam syarat qashar ini adalah : 107,5 km ditambah 20 meter. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192).
       Dan menurut ketiga madzhab lainnya adalah : 80,5 km ditambag 140 m.
       Sedangkan menurut Imamiyah : 40 km ditambah 320 m. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192)
2.    Harus berniat menempuh jarak yag telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya.
Demikian menurut kesepakatan ulama.
Orang yang mengikuti, seperti istri, pelayan, budak, dan serdadu harus mengikuti niat pemimpin mereka, dengan syarat mengetahui niat pimpinannya, kalau tidak mengetahui maka mereka wajib tetap melaksanakan shalat secara sempurna. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192)
3.    Tidak boleh mengqashar shalat kecuali bila sudah meninggalkan bangunan kota (tugu batas).
Demikian pendapat keempat madzhab.
Sedangka menurut Imamiyah berpendapat : hal itu masih cukup, tetapi harus benar-benar jauh dari bangunan kota sehigga tidak tampak oleh pandangan lagi serta sudah tak kedengaran lagi suara adzannya. Batasan yang ditetapkan oleh mereka  bagi permulaan safar itu, juga menjadi batasan untuk waktu akhir safar juga. Jika seorang kembali ke kotanya, ia masih wajib mengqashar shalatnya, hingga tamapak bangunan kota atau mendengar suara adazannya. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 192)
4.    Perjalanan itu haruslah perjalanan yang mubah.
Kalau perjalanan itu adalah perjalanan haram, misalnya untuk mencuri atau lainnya yang serupa, maka seluruh ulama sepakat tidak boleh qhashar, kecuali ulama Hanafi. Mereka mengatakan: qashar boleh dilakukan dalam segala keadaan, walaupun dalam perjalanan yang haram. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
5.    Orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) tidak boleh bermakmum kepada orang yang tidak dalam perjalanan (muqim), atau kepada musafir yang mengerjakan shalat dengan tamam (sempurna).
Kalau dilakukannya juga,maka ia harus mengerjakana shalat dengan sempurna, demikian menurut keempat madzhab. Namun madzhab Imamiyah mengatakan: orang yang shalat sempurna boleh bermakmum kepada yang shalat qashar dan sebaliknya dengan catatan masing-masing melaksanakan kewajibannya. Misalnya seorang musafir shalat dibelakang (bermakmum kepada ) orang yang muqim dalam shalat Dhuhur atau Ashar atau Isya’, maka ia melakukan shalat dua rakaat bersama imam, membaca tasyahud bersama imam, lalu member salam sendirian. Sedangkan imam meneruskan shalatnya hingga selesai. Dan kalau orang yang mukim shalat dibelakang musafir, ia shalat dua rakaat bersama imam, kemudian imam menyelesaikan shalatnya yang tersisa sampai selesai. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
6.    Hendaklah berniat qashar pada shalat yang dilaksanakannya, kalau tidak, maka harus dilakukan dengan sempurna.
Demikian menurut madzhab Hambali dan Syafi’i.
Sedangkan menurut madzhab Maliki: niat qashar itu cukup pada permulaan shalat qashar yang dikerjakan dalam perjalanannya, dan tidak harus membaharuinya pada tiap-tiap shalat. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
Hanafi dan Imamiyah mengatakan : niat qashar itu bukan merupakan syarat dalam wajib qashar. Kalau seseorang tidak berniat qashar, maka ia wajib shalat sempurna. Sebab hukum tidak berubah karena niat, dan karena ia telah berniat safar dari permulaan. Namun pihak Imamiyah menambahkan: jika seorang musafir berniat aka mukim di suatu tempat, kemudian niatnya berubah, maka ia wajib shalat qashar sepanjang ia belum mengerjakan shalat secara sempurna, sekalipun hanya satu shalat. Kalau ia sudah mengerjakan shalat tamam (sempurna) sekalipun hanya satu kali, lalu iatnya berubah (tidak jadi menetap) maka ia tetap harus melakukan shalatt tamam (sempurna). (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
7.    Tidak boleh berniat akan menetap selama limabelas hari berturut-turut, demikian menurut madzhab Hanafi. Atau sepuluh hari menurut imamiyah, atau empat hari menurut Maliki dan Syafi’i. Atau masa wajib atasnya lebih dari duapuluh shalat menurut Hambali. Dan Imamiyah menambahkan : apabila seseorang tidak berniat menetap, tetapi ia bimbang kapan selesai urusannya, maka ia wajib mengqashar shalatnya hingga lewat tigapuluh hari. Sesudah itu ia harus meyempurnakan shalatnya, walaupun hanya satu shalat. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
8.    Pekerjaan musafir itu menuntut untuk sering bepergian, seperti sebagaia pedagang yag usahanya menuntut selalu bepergian, dan jarang menetap ditempat tinggalnya.
Syarat ini hanya terdapat pada madzhab Hambali dan Imamiyah saja, sedang pada madzhab lainnya tidak. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
9.    Rumah tinggalnya harus berbeda denga golongan yang tidak mempunyai tempat tggal tetap, yang selalu berpindah-pindah tempat. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
Syarat ini hanya dikemukakan oleh Imamiyah saja.
10.              Hanafi, Hambali, dan Maliki megatakan : jika seorang musafir pulang dari perjalanannya, dan bermaksud kembali ke tempat ia berangkat dari perjalanannya, maka dalam hal ini harus diperhatikan. Jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batallah perjalanannya, da wajib atasya menyempurnakan shalat. Dan jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara’, maka ia boleh mengqashar hingga kembali ke negerinya. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 194)
Sedangkan Syafi’i megatakan ; bilaman terlintas dalam benaknyya hendak kembali ke tengah-tengah perjalanannya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. (Demikian disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitab al-Wajiz bab shalat musafir). Artinya adalah, bahwa ia harus menyempurnaka shalatnya, sekalipun ia telah menempuh jarak yang diizinkan mengqashar shalat. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 194)
Imamiyah mengatakan : jika seseorang bermaksud membatalkan perjalanannya, atau merasa bimbang sebelum menempuh jarak yang mewajibkan qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya. Tetapi kalau ia sudah menempuh jarak qashar, maka ia wajib mengqashar. Kelangsungan niat safar itu termasuk syarat selama belum menempuh jarak yang ditetapkan. Apabila jarak qashar itu sudah ditempuh, maka tidak tergantung lagi pada niat. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)
Seluruh ulama sepakat : bahwa semua syarat yang ditetapkan untuk qashar, menjadi syarat pula bagi bolehnya membatalkan puasa. (Muhammad Jawad Mughniyah, 1991: 193)


Refferensi

Anwari, dkk. 2004. Fiqh. Tulungagung: Tim MGMP Tulungagung
Ar-Rahbawi, Syaikh Abdul Qadir. 2005. Shalat Menurut Empat Madzhab. Jakarta: Pustaka  Al-kautsar
Ayyub, Sayaikh Hasan. 2002. Fikih Ibadah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
Mughnyah, Muhammad Jawad.1991. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Basrie Press
Muhammad Azam, Abdul Aziz dan Sayyed Hawwas Abdul Wahhab.  2009. Fiqh Ibadah. Jakarta: AMZAH
Syaltout, Syaikh Mahmoud & Syaikh M. Ali As-Sayis. 1973. Perbandingan Madzhab Dalam Masalah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang


Tidak ada komentar: