SELAMAT MEMBACA

Senin, Maret 19, 2012

MAQAMAT


A.      PENGERTIAN MAQAMAT
Istilah Maqam (jamak: maqamat dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi sendiri. Meskipun demikian, kesemuanya sepakat memahami maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), dan latihan-latihan keruhanian budi-pekarti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya), demi mencapai kesempurnaan.
Konsep maqamat diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan spiritual (suluk). Dalam konteks ini, maqamat adalah stasiun-stasiun yang (harus) dilewati oleh pajalan spiritual sebelum bisa mencapai ujung perjalanan, baik itu disebut ma’rifah, ridha, maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah Swt. Sedangkan hal adalah keadaan-keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan ini ditengah-tengah
perjalanan ini.
Meski pengertian tentang maqamat ini umumnya merupakan suatu kesepakatan di kalangan kaum sufi, ia tentu saja adalah hasil ijtihad mereka dan bukan merupakan suatu bagian dari kepastian-kepastian aturan Islam (qath’iyyat). Karena itu, bukan saja pengertian ini tak dijumpai di kalangan di luar tasawuf, bahkan para sufi sendiri berbeda-beda dala perinciannya.

B.       MAQAMAT DALAM TASAWUF
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan separti haiwan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Tuhan melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu.
Seseorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Tuhan dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, separti tawbat, zuhd, sabr, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.
Amalan-amalan itu kemudiannya dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqamat yang terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Tuhan, mendapat kecintaan dan keredaan pada-Nya.
Hasil pada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah kehidupan yang positif, terutamanya terhadap kondisi batin. Seorang sufi akan merasa khawf (khuatir), tawaddu, taqwa (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah), shukr (berterima kasih kepada Tuhan), dan mutma’innah (ketenteraman) akan melahirkan integrasi diri, antara diri dengan orang lain dan diri dengan alam lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) dari Allah sebagai Pencipta. Dengan arti kata lain, maqamat didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya.
Ajaran sufi berkenaan maqamat memiliki hierarki yang tartib. Para ahli sufi meletakkan tingkatan yang berbeda di antara satu sama lain yang mesti diikuti oleh seorang salik (pengikut ajaran tasawuf). Namun perbedaan itu tidaklah dijadikan suatu perdebatan di antara pengamal-pengamal ajaran tasawuf itu karena mereka masing-masing memahami bahwa penentuan hierarki tersebut adalah berdasarkan pengalaman kesufian mereka tersendiri.

C.  MACAM-MACAM MAQAMAT
1. Maqam Tawbah (Taubat)
Tawbah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap tawbah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) dari perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah.
Tawbah itu sendiri mengandungi makna “kembali”. Jadi tawbah adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
 Al-Junayd al-Baghdadi seorang ahli sufi pernah ditanya tentang tawbah. Dia menjawab: “Tawbah adalah menghapuskan dosa seseorang.” Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada Sahl al-Tustari seorang ahli sufi katanya: “Tawbah berarti tidak melupakan
dosa seseorang”. Tawbah menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah pula adalah “kembalinya seseorang hamba kepada Allah dengan meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan orang-orang yang tersesat. Dia tidak mudah memperolehinya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikuti sirat al-mustaqim (jalan yang lurus)”.
Tawbah itu sendiri tidak sah kecuali dengan menyedari dosa tersebut mengakui dan berusaha mengatasi akibat-akibat pada dosa yang dilakukan. Menurut pengertian lain tawbah juga berarti “bangunnya psikologi manusia yang melahirkan kesedaran terhadap segala kekurangan atau kesalahannya dan menetapkan tekad dan azam yang disertai dengan amal perbuatan untuk memperbaikinya”.
Dalam usaha tazkiyyah al-nafs, tawbah merupakan tahap permulaan menuju Tuhan. Tanpa maqamat tawbah tahap berikutnya tidak dapat dicapai. Para ulama salaf memulakan amalan mereka dengan bertawbah karena tawbah adalah suatu usaha membersihkan diri manusia pada kesalahan dan maksiat dengan ikrar bahwa mereka meninggalkan maksiat, menyesali perbuatan jahat di masa lalu dan bertekad tidak akan mengulangi kekeliruan Tersebut.

2.        Maqamat Zuhd
Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatukan kemahuan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memperhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).
Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan: “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apapun dan pengosongan hati dari cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Tuhan yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahwa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan Seorang sufi meninggalkan harta benda dan kemewahan duniawi untuk
menuju Tuhan yang dicintai. Menurut Imam al-Ghazali bahwa hakikat zuhd adalah “meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling padanya kepada sesuatu yang lain yang terlebih baik padanya karena menginginkan sesuatu di dalam akhirat.
Allah berfirman yang bermaksud:
“Mereka menjual Yusuf dengan harga murah, beberapa dirham sahaja, sedang mereka itu orang yang zuhd (kurang suka) kepadanya.

3.        Maqam Sabr (sabar)
Sabr bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabr ialah menahan diri dalam memikul penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal perkataan sabr disebut dalam al-Qur’an pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabr ini wajib dan merupakan sebagian dari shukr. Sabr dalam pengertian bahasa adalah “menahan atau bertahan”. Jadi sabr sendiri adalah “menahan
diri dari rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah pada keluh kesah serta menahan anggota tubuh pada kekacauan”. Sabr mempunyai nilai psikologi yaitu setelah seorang sufi menjalani maqamat zuhd sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dan dia boleh memperkuat nilai-nilai zuhd tersebut.

4.        Maqamat Tawakkal
Dalam pergaulan sehari-hari, sering didengar  dan dijumpai ucapan-ucapan bahwa kita bertawakkal kepada Allah SWT. Makna pada tawakkal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri. Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal  bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT. Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan
suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan bersabar serta tidak resah dan gelisah.
Sari al-Saqati mengatakan: “Tawakkal adalah pelepasan dari kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan pada Allah semesta alam”. Penyerahan diri kepada Allah SWT artinya menyerahkan segala urusan pada takdir Yang Maha Kuasa yaitu setelah seorang yang bertawakkal menjalani maqamat; tawbah, zuhd, mahabbah dan sabr.



5.        Maqamat Ridho

Ridho adalah puncak dari kecintaan yang diperoleh seorang sufi setelah menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridho merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Tuhan atas hamba-Nya atas usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridho juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala pada kebaikannya tersebut.
Bagi al-Ghazali kelebihan ridho Allah SWT merupakan manifestasi atas keridhaan hamba. Ridho terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar sentiasa dekat dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbeban dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Ridho pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Ibn Khatib mengatakan: “ridho adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.

6.        Maqamat Mahabbah

Secara harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolak ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih yaitu Allah SWT. Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba-lomba untuk memperoleh cinta Ilahi menjadi tujuan orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya.
Oleh karena itu cinta sering diartikan sebagai berikut:
1.         Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya;
2.         Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi.
3.         Mengosongkan hati pada segala-galanya, kecuali pada yang dikasihi.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahwa sesuatu yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi.

7.                  Maqamat Ma`rifah
Ma`rifah (‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah dalam ma`rifah tasawuf sering dikonotasikan dengan panggilan hati melalui berbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang terhasil dari kegiatan zikir, sesuai dengan
tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang selanjutnya. Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Tuhan dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya berdasarkan pengetahuan Tuhan.
Ma`rifah dalam spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiyyah (Ketuhanan) karena ma`rifah ini adalah tingkat tartinggi pada pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenali Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Tuhan tanpa batasan. Ia meyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Tuhan. Oleh karena itu, dia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan dan beramal soleh.
Para sufi menyebut  ma`rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seseorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu mereka mengatakan:
·         kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah  Allah.
·         apabila dia melihat cermin yang dilihatnya juga adalah Allah.
·         ketika bangun maupun tidur yang dilihatnya ialah Allah.
·         Allah tidak boleh dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk material tidak akan sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah. 

Referensi

Nurcholish Madjid (1992), op.cit., h. 50.

Muslim Imam Abi Husayn Muslim Ibn-Hajjaj al-Qushayri al-Naysaburi (t.t),
Sahih Muslim, II, Istanbul: Cagry Yain Lari, h. 670.

Imam al-Qusyairy al-Naisaburi (1999), Risalah Qusyairiyyah, (terj.) Lukman
Hakim, Surabaya: Risalah Gusti, h. 23.

Tidak ada komentar: