Menjadi pemimpin seharusnya tidak banyak bicara, tetapi banyak berbuat. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa saja yang banyak bicaranya maka akan banyak kesalahannya, dan barang siapa yang banyak kesalahannya maka nerakalah tempatnya. Lebih jauh lagi, dengan sedikit bicara dan banyak berbuat, kharisma kepemimpinan seseorang akan menguat.
Disegani kawan maupun lawan. Sebaliknya, banyak bicara di depan publik yang dipimpinnya, apalagi disertai keluh kesah, menebar fitnah, secara otomatis meruntuhkan kharisma dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini, biasanya tidak akan lama berkuasa. Jika kekuasaanya tetap bertahan, kekuasaanya lemah, dilecehkan orang, dan selalu dalam ancaman lawan-lawanya.
Di tanah Betawi, tepatnya di Kampung Baru, Cakung Barat ada contoh kepemimpinan sedikit bicara, banyak berbuat. Kepemimpinan seorang ulama kharismatik yang masih dikenang sampai hari ini. Masyarakat memanggilnya Guru Asmat. Nama lengkapnya Ahmad Bin Kuncung Bin Ringgit. Lahir di Kampung Baru, Cakung Barat pada tahun 1904 dari pasangan Kuncung dan Fatimah Binti H. Rusin Bin H. Jirin Bin Gendot dan wafat pada tanggal 19 April 1987. Ia lebih dikenal dengan nama Asmat. Ia mempunyai satu saudara kandung, yaitu H. Junaidi. Keduanya ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya pada usia yang masih kanak-kanak, usia 4 tahun, dan adiknya baru berusia 2 tahun, secara berturut-turut di tahun yang sama (1908). Pertama yang wafat adalah ibunya, Fatimah, dan disusul kemudian bapaknya, Kuncung.
Seperti kisah Nabi Muhammad SAW, ia kemudian diasuh oleh pamannya (adik dari ibu), yaitu H. Anwar bin H. Rusin atau yang biasa dipanggil dengan H. Noar. Dalam masa pengasuhan ini, pamanya didatangi oleh seorang kyai agar H.Noar dan Solihin (abang H.Noar) betul-betul merawat Asmat kecil karena kelak ia akan menjadi orang besar. Kasih sayang H. Noar kepada Asmat kecil sangat besar, bahkan melebihi kepada anak-anaknya. Pertama kali Asmat kecil mengaji kepada Guru Amat, Sukapura, orang tua dari KH. Dzinnun selama 3 (tiga) tahun. Kemudian pada usia 8 tahun, ia mengaji ke Mu`allim Thabrani, Paseban selama 2 (dua) tahun. Lalu mengaji kepada Guru Mahmud untuk mendapatkan pelajaran agama berikutnya. Selain itu, ia juga mengaji ke Guru Aim, Kuningan. Mengaji juga kepada Guru Marzuki, Cipinang Muara (bersama atau satu angkatan dengan KH. Noer Alie) ; kepada Guru Mughni, Kuningan; kepada Guru Abdul Madjid, Pekojan; kepada Guru Abdussalam/Guru Salam, Rawa Bangke (Rawa Bunga); kepada Guru Marwan, Tanjung Priok. Bahkan kepada Mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami, ia tidak segan-segan untuk mengaji walau usianya sudah lanjut. Selain kepada ulama, ia juga mengaji kepada habaib Betawi, yaitu kepada Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bugur, dan Habib Umar Condet.
Setelah ia merasa memiliki ilmu yang cukup, ia mulai mengajar dan membuka pengajian di rumahnya. Banyak murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka, seperti Syekh KH. Muhadjirin Amsar Ad-Darry (pendiri perguruan An-Nida Al-Islami, Bekasi), Mu`allim Rasyid (pendiri perguruan Ar-Rasyidiyyah, Kampung Mangga, Tugu Utara, Jakarta Utara), KH. Abdullah Azhari, KH. Zaini Maliki (yang dijadikan mantu), KH. Badruddin (anak kandungnya, bapak dari KH. Hifdzillah), dan KH. Murtaqi (juga dijadikan mantu).
Guru Asmat dikenal tidak suka banyak bicara. Jika berbicara hanya untuk yang penting-penting saja. Ia akan akan banyak bicara jika sedang mengajari murid-muridnya. Selain mengajar, ia juga pemimpin bagi umat Islam di Cakung Barat, khususnya di Kampung Baru. Selain pendiam, ia pemimpin yang sangat tawadhu, low profil, suka membantu orang lain yang kesusahan dan menghormati siapapun. Jika ia berjalan dan berjumpa dengan seseorang, maka ia akan mendahulukan mengucapkan salam sambil mengangkat tangan kanan dan meletakannya di samping sebelah kanan kepalanya sebagai tanda hormat. Ia melakukannya kepada setiap orang yang ditemuinya, tanpa peduli apakah orang yang diberikan salamnya itu membalas atau tidak. Kebiasaannya ini sempat membuat malu dan mendapatkan gugatan dari anak-anaknya yang sering menyertainya. Guru Asmat hanya berkata,รข€ Kamu dan mereka berarti tidak tahu sunnah Nabi tentang keutamaan mendahulukan salam.
Kepemimpinan sedikit bicara dan banyak berbuat yang diterapkannya, betul-betul efektif dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.. Salah satu kisahnya, ada seorang jagoan di wilayah Sukapura, yang memiliki sawah. Ia melakukan tindakan semena-mena dengan memonopoli pengairan sawah. Dia buka aliran sawah hanya untuk mengairi sawahnya, sedangkan sawah orang lain, termasuk sawah milik Guru Asmat, tidak mendapatkan air. Ia tidak segan-segan untuk membacok siapapun yang mau menutup pintu air yang dibukanya. Mengetahui hal ini, pada suatu malam, Guru Asmat mendatangi pintu air yang dimonopoli Si Jagoan. Guru Asmat kemudian menutup pintu air agar mengalir ke sawah-sawah milik orang lain dan juga miliknya dengan segala risiko yang siap ia terima. Guru Asmat kemudian pulang ke rumahnya. Tetapi, sorbannya sempat tertinggal di pintu air. Tak lama setelah Guru Asmat pulang, datanglah Si Jagoan. Ketika melihat sorban Guru Asmat, ia tidak berani untuk membuka pintu air. Si Jagoan kembali ke rumah. Tak lama kemudian, ia kembali ke pintu air. Ia lihat masih ada sorban Guru Asmat, ia pun tidak jadi membuka pintu air. Kejadian ini terus berulang sampai pagi.
Disegani kawan maupun lawan. Sebaliknya, banyak bicara di depan publik yang dipimpinnya, apalagi disertai keluh kesah, menebar fitnah, secara otomatis meruntuhkan kharisma dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini, biasanya tidak akan lama berkuasa. Jika kekuasaanya tetap bertahan, kekuasaanya lemah, dilecehkan orang, dan selalu dalam ancaman lawan-lawanya.
Di tanah Betawi, tepatnya di Kampung Baru, Cakung Barat ada contoh kepemimpinan sedikit bicara, banyak berbuat. Kepemimpinan seorang ulama kharismatik yang masih dikenang sampai hari ini. Masyarakat memanggilnya Guru Asmat. Nama lengkapnya Ahmad Bin Kuncung Bin Ringgit. Lahir di Kampung Baru, Cakung Barat pada tahun 1904 dari pasangan Kuncung dan Fatimah Binti H. Rusin Bin H. Jirin Bin Gendot dan wafat pada tanggal 19 April 1987. Ia lebih dikenal dengan nama Asmat. Ia mempunyai satu saudara kandung, yaitu H. Junaidi. Keduanya ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya pada usia yang masih kanak-kanak, usia 4 tahun, dan adiknya baru berusia 2 tahun, secara berturut-turut di tahun yang sama (1908). Pertama yang wafat adalah ibunya, Fatimah, dan disusul kemudian bapaknya, Kuncung.
Seperti kisah Nabi Muhammad SAW, ia kemudian diasuh oleh pamannya (adik dari ibu), yaitu H. Anwar bin H. Rusin atau yang biasa dipanggil dengan H. Noar. Dalam masa pengasuhan ini, pamanya didatangi oleh seorang kyai agar H.Noar dan Solihin (abang H.Noar) betul-betul merawat Asmat kecil karena kelak ia akan menjadi orang besar. Kasih sayang H. Noar kepada Asmat kecil sangat besar, bahkan melebihi kepada anak-anaknya. Pertama kali Asmat kecil mengaji kepada Guru Amat, Sukapura, orang tua dari KH. Dzinnun selama 3 (tiga) tahun. Kemudian pada usia 8 tahun, ia mengaji ke Mu`allim Thabrani, Paseban selama 2 (dua) tahun. Lalu mengaji kepada Guru Mahmud untuk mendapatkan pelajaran agama berikutnya. Selain itu, ia juga mengaji ke Guru Aim, Kuningan. Mengaji juga kepada Guru Marzuki, Cipinang Muara (bersama atau satu angkatan dengan KH. Noer Alie) ; kepada Guru Mughni, Kuningan; kepada Guru Abdul Madjid, Pekojan; kepada Guru Abdussalam/Guru Salam, Rawa Bangke (Rawa Bunga); kepada Guru Marwan, Tanjung Priok. Bahkan kepada Mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami, ia tidak segan-segan untuk mengaji walau usianya sudah lanjut. Selain kepada ulama, ia juga mengaji kepada habaib Betawi, yaitu kepada Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bugur, dan Habib Umar Condet.
Setelah ia merasa memiliki ilmu yang cukup, ia mulai mengajar dan membuka pengajian di rumahnya. Banyak murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka, seperti Syekh KH. Muhadjirin Amsar Ad-Darry (pendiri perguruan An-Nida Al-Islami, Bekasi), Mu`allim Rasyid (pendiri perguruan Ar-Rasyidiyyah, Kampung Mangga, Tugu Utara, Jakarta Utara), KH. Abdullah Azhari, KH. Zaini Maliki (yang dijadikan mantu), KH. Badruddin (anak kandungnya, bapak dari KH. Hifdzillah), dan KH. Murtaqi (juga dijadikan mantu).
Guru Asmat dikenal tidak suka banyak bicara. Jika berbicara hanya untuk yang penting-penting saja. Ia akan akan banyak bicara jika sedang mengajari murid-muridnya. Selain mengajar, ia juga pemimpin bagi umat Islam di Cakung Barat, khususnya di Kampung Baru. Selain pendiam, ia pemimpin yang sangat tawadhu, low profil, suka membantu orang lain yang kesusahan dan menghormati siapapun. Jika ia berjalan dan berjumpa dengan seseorang, maka ia akan mendahulukan mengucapkan salam sambil mengangkat tangan kanan dan meletakannya di samping sebelah kanan kepalanya sebagai tanda hormat. Ia melakukannya kepada setiap orang yang ditemuinya, tanpa peduli apakah orang yang diberikan salamnya itu membalas atau tidak. Kebiasaannya ini sempat membuat malu dan mendapatkan gugatan dari anak-anaknya yang sering menyertainya. Guru Asmat hanya berkata,รข€ Kamu dan mereka berarti tidak tahu sunnah Nabi tentang keutamaan mendahulukan salam.
Kepemimpinan sedikit bicara dan banyak berbuat yang diterapkannya, betul-betul efektif dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.. Salah satu kisahnya, ada seorang jagoan di wilayah Sukapura, yang memiliki sawah. Ia melakukan tindakan semena-mena dengan memonopoli pengairan sawah. Dia buka aliran sawah hanya untuk mengairi sawahnya, sedangkan sawah orang lain, termasuk sawah milik Guru Asmat, tidak mendapatkan air. Ia tidak segan-segan untuk membacok siapapun yang mau menutup pintu air yang dibukanya. Mengetahui hal ini, pada suatu malam, Guru Asmat mendatangi pintu air yang dimonopoli Si Jagoan. Guru Asmat kemudian menutup pintu air agar mengalir ke sawah-sawah milik orang lain dan juga miliknya dengan segala risiko yang siap ia terima. Guru Asmat kemudian pulang ke rumahnya. Tetapi, sorbannya sempat tertinggal di pintu air. Tak lama setelah Guru Asmat pulang, datanglah Si Jagoan. Ketika melihat sorban Guru Asmat, ia tidak berani untuk membuka pintu air. Si Jagoan kembali ke rumah. Tak lama kemudian, ia kembali ke pintu air. Ia lihat masih ada sorban Guru Asmat, ia pun tidak jadi membuka pintu air. Kejadian ini terus berulang sampai pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar