Ketika seseorang memperoleh
pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami
sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya
atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu
yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi
jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap
apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka
orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan
ini agama. Jika pengetahuan-pengetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode
persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer,
yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal. Demikian
penjelasan al-Farabi dalam kitab Tahshîl al-Sa'âfidah tentang
sifat agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya.
Al-Fârâbî telah menghidupkan
kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa agama adalah tiruan dari filsafat.
Menurutnya, baik agama maupun filsafat berhubungan dengan realitas yang sama.
Keduanya terdiri dari subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan
prinsip-prinsip tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari
prinsip-prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang
diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak dari
wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan al-Fârâbî, filsafat memberikan laporan
berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan agama memaparkan laporannya
berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal yang didemonstrasikan oleh filsafat,
agama memakai metode-metode persuasif untuk menjelaskannya.
Tujuan dari 'tiruan-tiruan'
kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan lambang telah dijelaskan sebelumnya.
Sifat dari citra dan lambang religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut.
Menurut al-Fârâbî, agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia
alami, dunia seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga
sosio-politik. Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya
sempurna, seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit dilambangkan
dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan indah dipandang. Inilah
sebabnya mengapa dalam Islam, matahari melambangkan Tuhan, bulan melambangkan
nabi, dan bintang melambangkan sahabat nabi.
Fungsi dari tugas-tugas politis
seperti raja dengan segenap hierarki bawahannya berikut fungsi-fungsi
kehormatannya memberikan citra dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud
dan perbuatan-perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta.
Karya-karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan gerakan
kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya objek-objek alami.
Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang disebut al-Fârâbî sebagai empat
prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan
objek-objek seni. Secara umum, menurut al-Fârâbî, agama berusaha membawa
tiruan-tiruan kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.
Dalam Islam, pandangan mengenai
perbedaan antara agama (millah) dan filsafat (falsafah) umumnya
diidentifikasi dengan mazhab masysyâ'î ilmuwan filosof di mana
al-Fârâbî termasuk di dalamnya. Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini
diikuti rumusan terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam
perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar yang ingin
disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing bagi perspektif
wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para Sufi dalam kerangka perbedaan
eksoterik-esoterik. Gagasan itu berbunyi demikian: kebenaran atau realitas
adalah satu namun pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan
yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di sini
berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.
Dalam perspektif falâsifah, filsafat
dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang
hendak dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai
sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas;
dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Ini sangat jelas
tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang filsafat dan agama. Istilah yang
digunakannya untuk menyatakan perbedaan agama dari filsafat adalah millah;
bukan dîn. Ini menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara
kontras tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan dimensi
eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka menggunakan istilah millah
daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia mengacu pada komunitas religius di
bawah sanksi ilahi dengan seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau
perintah-perintah hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan
praktik-praktik komunitas religius ini.
Dalam wacana yang dikutip di atas,
al-Fârâbî tampaknya berpendapat ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat
yang disebutnya filsafat populer, diterima secara umum dan eksternal. Dari
paparannya tentang karakteristik filsafat tersebut dan kalâm, khususnya
penjelasan dalam Ihshâ' al-'Ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî
menganggap kalâm sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua,
filsafat esoterik yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang
hanya diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan
spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang
didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-yaqînî),
suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual dan putusan logis
(istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah sejenis pegetahuan yang
lebih unggul dibanding agama (millah), karena millah didasarkan atas
metode persuasif (al-iqnâ').
Kemudian, bagi al-Fârâbî, filsafat
merujuk pada kebenaran abadi atau kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak
pada jantung setiap tradisi. Ini dapat diidentifikasi dengan philosophia
perennis yang diajarkan oleh Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam
abad ini oleh Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik
kebijaksanaan tradisional ini. al-Fârâbî menulis:
Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat
dikalangan orang-orang Kaldea, yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa
Mesir, dari sini lantas diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ
hingga diwariskan pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala
sesuatu yang terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani,
kemudian Syria, dan akhirnya Arab.
Dikatakan al-Fârâbî, bangsa Yunani
menyebut pengetahuan tentang kebenaran abadi ini kebijaksanaan
"paripuma" sekaligus kebijaksanaan tertinggi. Mereka menyebut
perolehan pengetahuan seperti itu sebagai ilmu', dan mengistilahkan keadaan
ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang dimaksud dengan yang terakhir ini adalah
tidak lain pencarian dan kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut
al-Fârâbî, orang-orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial
kebijaksanaan ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini,
filsafat lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu,
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni. Maksud
mereka sebenarnya, tutur al-Fârâbî, adalah seni yang memanfaatkan segala
kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala kebajikan, dan kebijaksanaan yang
memanfaatkan segala kebijaksanaan.
Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya
akan fakta berikut: sementara esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama
dalam setiap tradisi, sejauh ini tidak ditemukan model pengungkapan yang sama
pada tradisi-tradisi ini. Tetapi, al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara
pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut
filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi
Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan penjelasan baru
dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan dialektis atau logis.
Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru diwarisi oleh Islam melalui
orang-orang Kristen Syria.
Sebagaimana telah kita lihat,
al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan
paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi
sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran".
Mengikuti Aristoteles, al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk
pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta
ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada
metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat al-Fârâbî terdiri dari
empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu
tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh al-Fârâbî
dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu
memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu.
Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi
filsafat dan agama, al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan fenomena,
keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain karena
kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki
banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat
kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan
filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa
dan masyarakat.
Pada saat yang sama, al-Fârâbî
menyukai gagasan keunggulan relatif satu lambang religius atas lambang lainnya,
dalam pengertian bahwa lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai dalam satu
agama lebih mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat
dan lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. penting dicatat,
al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu, meskipun dia
berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak
memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:
Tiruan dari hal-hal macam itu
bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari
mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan
kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh.
Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak
dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam
beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di
samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.
Perbedaan filsafat-agama
sebagaimana telah dirumuskan al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan
hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada
dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya,
kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan al-Fârâbî
terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu
filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam
klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari
dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm
al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan
mitra filosofisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar