SELAMAT MEMBACA

Selasa, September 11, 2012

Kedudukan As Sunnah dalam Islam

            As Sunnah ( hadits nabi saw.) merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingatkan bahwa pribadi Nabi saw. Merupakan perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang di jabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
            Makna seperti itulah yang yang dipahami oleh Ummul-mukminin Aisyah r.a dengan pengetahuannya yang mendalam dan perasanya yang tajam serta pengalaman hidupnya bersama Rasulullah saw. Pemahamannya itu dituangkan dalam susunan kalimat yang singkat, padat, dan cemerlang, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang akhlak Nabi saw.: “ Akhlak beliau adalah Al Qur’an !”
            Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (methodology) praktis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya , maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan aktualisasikan dalam Sunnah Nabawiyah, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi saw.
Manhaj Komprehensif
            Manhaj Islam tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam dimensi “panjang”,”lebar”, dan  “dalam”-nya.
            Yang dimaksud dengan “panjang” disini adalah rentangan waktu secara vertikal, yamg meliputi kehidupan manusia, sejak saat kelahiran sampai kematiannya, bahkan sejak masa kehidupannya sebagai janin sampai setelah kematiannya.
            Adapun yang dimaksud dengan “lebar” di sini adalah rentangan horizontal yang meliputi seluruh aspek kehidupannya, sedemikian sehinnga petunjuk Nabi (hidayah nabawiyyah) senantiasa bersamanya: di rumah, di pasar, di masjid, di jalanan, dalam pekerjaannya, dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan keluarga, dan segenap manusia sekitarnya, yang muslim maupun yang non-muslim, bahkan dengan semua manusia, hewan dan benda mati.
            Sedangkan yang dimaksud dengan “dalam” di sini adalah dimensi yang berkaitan dengan “kedalaman” kehidupan manusia, yaitu tang mencakup tubuh, akal dan ruh, meliputi lahir dan batin, serta ucapan, perbuatan dan niatnya.
Manhaj yang Seimbang
            Ciri lain dari manhaj ini adalah “keseimbangan”. Yakni keseimbangan antara ruh dan jasad, antara akal dan kalbu, antara dunia dan akhirat, antara perumpamaan dan kenyataan, antara teori dan praktik, antara alam gaib dan kasatmata, antara kebebasan dan tanggungjawab, anrata perorangan dan kelompok, antara ittiba’ (mengikuti apa yang dicontohkan oleh nabi saw.) dan ibtida’ (menciptakan sesuatu yang baru yang tidak ada contohnya dalam sunnah beliau), dan seterusnya.
            Dengan kata lain, ia merupakan manhaj yang bersifat  “tengah-tengah” (yakni umat islam sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah, ayat 143).
            Karena itu, setiap kali Nabi saw. Melihat para sahabatnya condong kea rah “berlebihan” atau “kekurangan” (dalam berbagai aspek dikehidupan mereka), maka beliau segera mengembalikan  mereka dengan kuat ke arah tengah (moderasi), sambil memperingatkan mereka akan akibat buruk dari setiap ekstremitas (dalam melaksanakan sesuatu atau dalam mengabaikannya).
            Itulah sebanya beliau menyatakan ketidaksenangannya kepada ketiga orang yang menanyakan ibadah beliau, lalu rupa-rupanya mereka menganggapnya terlalu sedikit dan tidak sesuai dengan keinginan keras mereka untuk memperbanyak ibadah. Seorang dari mereka hendak berpuasa terus-menerus setiap hari (shiyam ad-dahr). Seorang lagi hendak qiyam al-lail atau begadang sepanjang malam untuk shalat. Dan yang ketiga hendak menjauhi perempuan dan tidak akan menikah. Maka ketika mendengar ucapan mereka itu, nabi saw. Bersabda:
“Sungguh aku ini adalah yang paling penakut, di antara kamu, kepada Allah, dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi ada kalanya berpuasa dan tidak berpuasa, bershalat dimalam hari dan tidur, dan mengawini perempuan. Maka barang sipa yang menjauh dari sunnah-ku, ia tidak termasuk golonganku.
            Dan tak kala melihat Abdullah bin ‘Amr berlebih-lebihan dalam berpuasa, berqiyamullail dan ber-tilawat Al-Qur’an, nabi saw. Memerintahkannya agar melakukan semua itu dengan sedang-sedang saja, tidak berlenih-lebihan. Sabda beliau:
“Sungguh adanmu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk beristirahat), matamu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk tidur), isterimu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk disenangkan hatinya dan dipergauli dengan baik), dan para tamumu mempunyai hak atas kamu (yakni untuk dihormati dan diajak berbincang), maka berikan hak-hak itu kepada masing-masing.”
Manhaj Memudahkan
            Di antara ciri-ciri lainnya dari manhaj ini adalah keringanan, kemudahan, dan kelapangan. Seperti juga diantara sifat-sifat Rasul ini yang tercantum dalam kitab-kitab suci terdahulu – taurat dan injil – bahwa ia “… menyuruh mereka mengerjakan apa yang ma’ruf dan melarang mereka yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…” (Al-A’raf:157)
            Sifat seperti itulah yang menyebabkan tidak adanya sesuatu dalam sunnah Nabi ini yang menyulitkan manusia dalam agama mereka, atau memberati mereka dalam dunia mereka. Bahkan beliau pernah bersabda tentang dirinya sendiri:
“Sesungguhnya aku ini adalah rahmat yang dihadiahkan (untuk seluruh manusia).”
            Ucapan ini merupakan penafsiran bagi firman Allah SWT:
“ Tiadalah kami (Allah) mengutus kamu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” (Al-Anbiya’:107)
            Dan beliau telah bersabda pula :
“ Sesungguhnya allah tidak mengutusku sebagai seorang yang mempersulit atau mencari-cari  kesalahan  orang lain, tetapi aku diutus oleh-Nya sebagai pengajar dan pembawa kemudahan.”
            Dan ketika mengutus Abu Musa dan Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepada mereka berdua dengan sebuah pesan yang ringkas namun padat:
“Permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka menjauh, dan berusahalah kalian berdua untuk sepakat dan jangan bertengkar.
            Pernah juga beliau menunjukkan sabdanya kepada umatnya:
“Permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit< gembirakanlah dan jangan membuat orang pergi menjauh!”
Dan tentang misi yang dibawanya, beliau berkata:
“Sesungguhnya aku ini diutus dengan al-hanifiyyah as-samhah (yakni jalan hidup yang lurus dan lapang).”
            Sunnah Nabi saw. Adalah manhaj yang terperinci bagi kehidupan seorang muslim dan masyarakat muslim. Yaitu manhaj yang sebagaimana yang yelah dikemukakan merupakan penafsiran dari Al Qur’an dalam praktik atau Islam dalam penjabarannya secara kongkret.
            Dalam kenyataanya, Nabi saw. Merupakan pemberi penjelasan bagi Al Qur’an, dan beliau pulalah yang mengaktualisasikan ajaran Islam, dengan ucapan dan tindakannya, bahkan dengan seluruh perilakunya, di dalam rumah ataupun di luarnya, di tempat kediamannya ataupun dikala bepergian jauh, di waktu tidurnya atau ketika terjaga, dalam kehidupan pribadinya ataupun di antara khalayak., dan hubungannya dengan Allah SWT ataupun dengan masyarakat, bersama mereka yang dekat hubungan kekeluargaannya ataupun yang jauh, kawan ataupun lawan, dalam masa damai ataupun perang, dan dalam saat-saat aman sejahtera ataupun ketika dalam percobaan dan kesulitan.
            Adalah kewajiban kaum muslim untuk memahami manhaj nabawi yang terinci ini, dengan semua cirri khasnya yang komprehensif, saling melengkapi, seimbang dan penuh kemudahan. Serta prinsip-prinsip Ilahiah yang yang kukuh, kemanusiaan yang mendalam, dan aspek-aspek budi pekerti luhur yang kesemuanya jelas tampak di dalamnya.
            Hal ini pula yang mengharuskan kaum muslim berusaha untuk memaham sunnah yang mulia ini dengan sebaik-baiknya dan berinteraksi dengannya dalam aspek hukum dan moralnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi muslim terbaik : para sahabat serta tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan.
            Krisis utama yang dihadapi kaum muslim masa kini adalah mendahului krisis kesadaran hati nurani. Contoh terbaik yang menunjukkan hal tersebut adalah adanya krisis dalam memahami sunnah dan bagimana berinteraksi dengannya. Terutama yang tampak pada sebagian aliran yang (maunya ) mengacu pada “kebangkitan kembali Islam”, dan yang sesunggunya sangat diharapkan dan didambakan oleh umat diseluruh penjuru, di Barat maupun Timur. Tidak jarang mereka inilah yang (sayangnya) terjerumus ke dalam kekeliruan, akibat kurangnya pemahaman mereka terhadap Sunnah yang suci ini.
            Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen Di mana hadits merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Al Qur’anakan sulit dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Al Qur’an tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits di samping Al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka Al Qur’an merupakan sumber hukum pertama, sedangkan hadits merupakan sumber kedua. Bahkan sulit untuk dipisahkan antara Al Qur’an dan hadits, karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al Qur’an merupakan wahyu matlu dan adalah wahyu ghoiru matlu.
            Banyak dalil qath’i  yang menunjukkan bahwa hadits merupakan sumber hukum yang dijadikan hujjah dalam agama, baik dari Al qur’an, sunnah maupun ijma’ ulama. Dalam nash Al Qur’an, banyak ditemukan  ayat-ayat yang mengandung perintah patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, menerima semua yang bersumber dari dari Rasul, dan pasrah dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi saw.
            Suatu kewajiban sebagaimana patuh kepada Allah swt. Juga perintah menerima segala yang bersumber dari rasul secara keseluruhan, baik yang sejalan dengan perintah Allah swt dalam al Qur’an maupun tang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah swt.Demikian pula ukuran keimanan seseorang terlihat dari kepatuhannya terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh rasulullah saw.
            Untuk melihat lebih rinci kehujjahan al sunnah dapat dilihat apa yang telah ditulis oleh Abdul Kholiq dalam bukunya Hujjiyah al sunnah yang mengatakan , bahwa kehujjahan sunnah dapat dipahami dari beberapa aspek, yaitu:
1.      Ishmah (keterpeliharaan Nabi dari kesalahan)

                        Tugas Rasul sebagai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati-hati dalam bertindak.Hal itu disebabkan karena segala tindak tanduk dan tutur kata beliau selalu menjadi acuan dan panutan bagi umatnya.Keterjagaan tersebut bisa dalam bentuk bimbingan langsung  atau dalam arahan setelah bertindak.
2.      Sikap sahabat terhadap sunnah

                        Sikap para sahabat yang selalu patuh dan tunduk dengan perintah Rasulullah saw memberikan satu indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan Rasulullah,itu jga disebut hujjah.Jika  ada yang dilakukan nabi dirasa aneh atau menyimpang maka mereka akan menanyakan hikmah yang terkandung di dalam perintah atau larangan tersebut.
3.      Al-quran
                       
                        Banyak ayat yang memerintahkan untuk patuh,taat dan mengambil apa yang dilakukan rasulullah.an-nisa 136;65,al-nahl 44 dan al maidah 92

4.      As-sunnah
                       
                        Terdapat pula hadid yang menjalaskan kehujjahan Rasulullah.




5.      Kebutuhan al-Quran terhadap al-sunnah
                       
                        Al-Quran tidak akan dapat dipahami secara sempurna tanpa adanya al-sunnah.Ayat-ayat al-Quran yang sebagian besarnya bersifat global sangat membutuhkan penjelas yang dapat menjalaskan maksudnya dan perinci yang dapat merinci detailnya.Seeorang tidak akan dapat memahami ayat dengan benar tanpa merujuk pada al-sunnah.Ibn mas’un mengatakan,’’tidak ada satu masalahpun kecuali telah dijelaskan oleh allah dalam al-Quran.Namun karena pemahaman kita terhadap al-Quran terbatas,maka allah mengutus Rasul-Nya untuk menjelaskan maksud dari ayat-ayat-Nya.

6.      Realitas sunnah sebagai wahyu

                        Sebagaimana yang di singgung di atas,bahwa wahyu yang disampaikan Allah kepada nabi-nya ada yang berupa dhohir(terjaga dan terpelihara dari kesalahan).Wahyu dalam bentuk ini ada  yang muta’abbid bitilawatihi(dinilai pahala bagi yang membacanya)dan berupa mukjizat,dan ada yang tidak demikian.Wahyu yang berupa mukjizat dinamakan al-Quran  dan yang bukan mukjizat diistilahkan hadis,baik qudsi ataupun nabawi.Dapat disimpulkan bahwa hadis nabi yang berupa ucapan,perbuatan dan persetujuan pada hakikatnya bersumber dari wahyu ilahi.

7.      Ijma’

                        Jika kita lihat sumber-sumber agamadan sejarah para salaf maupun kholaf kita akan dapat semacam kesepakatan untuk mengambil hadis nabi sebagai hujjah dan landasan hukum.Nyaris tidak kita dapat satupun dari para ulama maupun para mujtahid yang mengingkari kehujjahan al-sunnah al-nabawiyyah.

Status sunnah sebagai Hujjah
           
                        Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua. Oleh kerena itu, kewajian mengikuti, kembali, dan berpegang teguh pada sunnah merupakan perintah Allah SWT dan juga perintah Nabi saw, pembawa syari’at yang agung. Petuah itu tertuang dalam firman-Nya,

“ Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (nya) dan berhati hatilah,”(QS. Al Maidah:92)

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah,” (QS. An-Nisaa’ : 80).

“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah,” (QS. Al-Hasyr:7)

                        Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka orang-orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah, dengan dalil cukup mengamalkan Al Qur’an, sungguh mereka itu terlalu kecil dan rendah. Mereka benar-benar telah terjerumus ke dalam kebathilan dan kesalahan. Seruan mereka agar taat kepada Allah dan mengikuti Al Qur’an, tanpa mengikuti sunnah, itu merupakan perbuatan maksiat dan bid’ah.
                        Al Qur’an secara tegas menyebutkan, bahwa orang-orang yang tidak mau mendasarkan hukum-hukumnya dan mengembalikan segala persoalannya kepada Rasulullah saw, serta tidak mau tunduk dan patuh secara total terhadap hukum-hukum dan perintah-perintahnya dengan penuh kesadaran, adalah termasuk orang-orang yang tidak beriman. Firman Allah SWT:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya,” (QS, an-Nisaa’ : 65).

                         Tidak ada konotasi makna lain dari mengambil hukum dan kembali kepada Nabi saw selain kembali dan tunduk kepada sunnahnya.
Al Qur’an menunjukkan kepada kita, bahwa tidak ada pilihan lain bagi oranf mukmin untuk memilih hukum yang laun selain hukum-hukum Allah dan hukum-hukum RasulNya. Orang yang melanggar hukum Allah dan hukum RasulNya disebut durhaka. Allah SWT berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada lagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata,” (QS. Al-Ahzaab:36).



Tidak ada komentar: