SELAMAT MEMBACA

Selasa, Maret 20, 2012

Pola hidup santri dan peranannya terhadap sosial keagamaan di pondok pesantren al-mahrusiyah kediri

A. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta menyebarkan ilmu agama Islam, dimana Kyai sebagai tokoh sentralnya dan masjid sebagai tempat lembaganya. Istilah pesantren di daerah Minangkabau disebut surau, di Madura disebut penyantren, di Jawa Barat disebut pondok dan di Aceh disebut rangkang. Pendidikan yang diberikan di pondok pesantren adalah pendidikan agama dan akhlak (mental). Pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Istilah pondok, berasal dari kata funduk dari bahasa Arab yang berarti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pesantren di Indonesia, khususnya pulau Jawa, lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri. Istilah pesantren secara etimologis asalnya pesantri-an yang berarti tempat santri. Santri atau murid yang belajar tentang agama dari seorang Kyai atau Syaikh di pondok pesantren. Mengenai arti kata pesantren, telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an , yang berarti tempat tinggal para santri, sedangkan istilah santri berasal dari bahasa tamil, yang berarti guru mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil sattiri yang diartikan sebagai orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Menurut Manfred, pesantren berasal dari masa sebelum masa Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama.8 Pendapat lain menyatakan bahwa pondok pesantren adalah pranata pendidikan asli Islam, pesantren lahir dari
pola kehidupan tasawuf yang berkembang dibeberapa wilayah Islam seperti Timur Tengah dan Afrika Utara, yang dikenal dengan sebutan zawiyat. Secara umum, potret pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmuilmu keagamaan dengan bimbingan seorang guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai. Asrama untuk para siswa berada dalam kompleks pesantren dimana Kyai bertempat tinggal. Disisi lain Zamakhsyari Dhofier berpendapat, kata santri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Pendapat lain mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, dari kata cantrik berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Di Indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pondok, pondok berasal dari bahasa Arab funduk , yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.12 Nurcholish Majid berpendapat, secara historis pesantren tidak hanya makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja, atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan.
Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Pada pesantren santrinya tidak disediakan asrama (pemondokan) di komplek pesantren tersebut; mereka tinggal diseluruh penjuru desa sekeliling pesantren (santri kalong) dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, yaitu para santri berduyungduyung masuk ke pondok pesantren untuk belajar pada waktu-waktu tertentu. Dalam perkembangannya, perbedaan ini ternyata mengalami kekaburan. Asrama (pemondokan) yang seharusnya sebagai penginapan santri-santri yang belajar di pesantren untuk memperlancar proses belajarnya dan menjalin hubungan guru-murid secara lebih akrab. Akan tetapi yang terjadi dibeberapa pondok justru hanya sebagai tempat tidur semata bagi pelajar-pelajar sekolah umum. Mereka menempati pondok bukan untuk thalailm al-Din, melainkan karena alasan ekonomi. Istilah pondok juga seringkali digunakan bagi perumahan-perumahan kecil disawah atau ladang sebagai tempat peristirahatan sementara bagi para petani yang sedang bekerja. Sebaliknya, tempat pengkajian kitab-kitab Islam klasik yang memiliki asrama (pemondokan) oleh masyarakat disebut pesantren, pemakaian istilah pesantren juga menjadi kecenderungan para penulis dan peneliti tentang kepesantrenan belakangan ini, baik yang bersal dari Indonesia maupun orangorang manca negara, baik yang berbasis pendidikan pesantren maupun mereka yang baru mengenalnya secara lebih dekat ketika mengadakan penelitian. Sebenarnya gabungan kedua istilah secara integral yakni pondok dan pesantren menjadi pondok pesantren lebih mengakomodasikan karakter keduanya. Pondok pesantren menurut M. Arifin berarti, suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana para santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah, yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal. Marwan Sarijo mengatakan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan, dan weton. Sedangkan menurut KH. Ali Maksum bahwa pesantren merupakan asrama tempat tinggal para Kyai beserta keluarganya dengan santri yang mangaji di tempat yang disediakan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang sekurang kurangnya mempunyai tiga ciri umum, yaitu Kyai sebagai figur sentral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, dan masjid sebagai pusat kegiatan. Adanya pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pengajian kitab dengan metode weton, sorogan, dan musyawarah, yang sebagian sekarang telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah.18Keberadaan pondok pesantren dengan segala aspek kehidupan dan perjuangannya ternyata memiliki nilai strategis dalam membina insan yang berkualitas iman, ilmu, dan amal. Dalam Islam ilmu merupakan persoalan pokok dalam ajarannya. Dalam Al-Qur an sering disebutkan pentingnya ilmu, sebagaiman ditegaskan dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2. Unsur-Unsur Pondok Pesantren
Adapun ciri-ciri khas pondok pesantren yang sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, serta yang membedakan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah sebagai berikut:
a. Pondok atau Asrama
Kata pondok berarti kamar, gubuk, rumah kecil, yang dalam bahasa Indonesia, kata pondok itu sendiri lebih menekankan kepada kesederhanaan bangunannya. Kemungkinan yang lain kata pondok berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana. Orientalis belanda yang cukup terkenal, Cristian Snouck Hourgronje memberikan gambaran tentang bagaimana suasana pondok tempat tinggal kaum santri pada masanya. Menurut Hurgronje, pondok terdiri dari sebuah bangunan gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur, tiang-tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu, dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya. Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agak sempurna dimana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu, disebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit sehingga sewaktu memasuki kamar seseorang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil, dan memakai teralis. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Pondok pesantren pada umumnya memiliki beberapa orang santri yang harus bertempat tinggal di dalam sebuah asrama yang sederhana. Biasanya para santri bertempat tinggal bersama-sama dalam satu komplek dengan Ustadz, Guru, dan Kyai, tetapi hanya dibedakan pada tempat ruangannya. Disinilah Kyai bersama santrinya bertempat tinggal bersama. Kebersamaan antara Kyai dengan para santri, mereka memanfaatkannya dalam rangka bekerja sama memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainya. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim.
Pada awalnya pondok pesantren bukan semata-mata dimasukkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh Kyai, tetapi juga sebagai tempat latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri dibawah bimbingan Kyai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesama warga pesantren. Perkembangan selanjutnya, pada masa sekarang pondok tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama. Setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.

b. Masjid
Dalam konteks ini, masjid adalah sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan dilingkungan pesantren. Baik yang berkaitan dengan ibadah, sholat berjamaah, zikir, wirid, do a, I tiqaf, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Masjid merupakan unsur pokok yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan pondok pesantren, hal ini karena masjid disamping berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjamaah juga berfungsi sebagai kegiatan belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum ataupun sesudahnya.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk halaqahhalaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasahmadrasah. Namun demikian, masjid juga berfungsi sebagai tempat I tikaf dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir, maupun amalanamalan lainya dalam kehidupan tarekat dan sufi. Dimasa Nabi, masjid telah menjadi tempat atau pusat pendidikan Islam, dimana kaum muslimin selalu menjadikan masjid sebagai tempat pertemuan, pendidikan, aktifitas administrasi dan kultural, yang hal ini sudah berlangsung selama 13 abad. Sehingga pendidikan Islam erat sekali hubungannya dengan masjid, yang di dalamnya juga dipelajari tentang kaidah-kaidah Islam dan hukum-hukum agama, mengadakan pengajian, pertemuan bagi pemimpin militer dan bahkan sebagai istana untuk menerima duta-duta manca negara. Maka dari itu masjid juga disebut baitulllah yang berarti rumah Allah, yang jika masuk tidak perlu izin, baik untuk shalat, belajar, ataupun untuk keperluan lain.

c. Santri
Santri adalah siswa yang tinggal dipesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik Kyai dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain, ia harus memperolah kerelaan sang Kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang santri
ini biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu:
1. Santri mukim: ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2. Santri kalong: ialah santri yang bersal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren.
Mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.

d. Kyai
Kyai adalah sebutan bagi alim ulama Islam. Kata ini merujuk pada figur tertentu yang memilki kapasitas dan kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama Islam. Menurut Zamakhsari Dhofier Kyai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memilki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Ditinjau secara etimologis, perkataan Kyai berasal dari bahasa jawa. Kata ini merujuk pada tiga gelar. Pertama Kyai merupakan sebutan untuk benda-benda pusaka atau barang terhormat. Kedua, gelar Kyai ditujukan kepada orang tua atau tokoh masyarakat. Gelar ini melekat terkait posisinya sebagai figur yang terhormat dimata masyarakat. Ketiga, gelar Kyai diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama Islam. Selain itu Kyai juga harus memilki pesantren, serta mengajarkan kitab kuning. Keberadaan seorang Kyai dalam lingkungan sebuah pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas Kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren. Oleh sebab itu alasan ketokohan Kyai diatas, banyak pesantren akhirnya bubar lantaran ditinggal wafat kyainya. Sementara Kyai tidak mempunyai keturunan yang dapat melanjutkan usahanya.
Sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, Kyai mengatur irama perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu, karismatik, dan ketrampilannya. Sehingga tidak jarang sebuah pondok pesantren tidak memiliki manajemen pendidikan yang rapi. Segala sesuatu terletak pada kebijaksanaan dan keputusan Kyai. Oleh sebab itu seorang kyai harus bisa adil dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil. Dalam Al-Qur an di jelaskan dalam surat Shaad ayat 26 yang berbunyi: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa*nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
Dalam sebuah pesantren biasanya dipimpin oleh seorang yang mampu untuk mengatur para santri dan mempunyai ilmu pengetahuan agama yang dapat diajarkan kepada santrinya, dan pemimpin itu ialah Kyai. Sehingga Kyai merupakan elemen yang paling esensial dalam kehidupan disuatu pesantren yang bahkan bisa jadi sebagai pendirinya. Akan tetapi kemimpinan seorang kyai yang mampu menguasai bawahannya bukan karena keahlian yang di miliki, tapi karena Allah telah menundukkannya untuk manusia. Ini tergambar dalam firman Allah pada surat Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat 13 yakni:
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan: "Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi Kami Padahal Kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.”
Adanya Kyai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi sebuah pesantren, sebab Kyai adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran, karena Kyai menjadi salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren, banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik, wibawa, dan ketrampilan Kyai yang bersangkutan dalam mengelola pesantren. Peran Kyai sangat fenomenal dan signifikan dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab Kyai adalah sebuah elemen pokok dari beberapa elemen dasar sebuah pondok pesantren.

e. Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pesantren mengajarkan kitab-kitab Islam klasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab kuning yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab sederhana dan terus meningkat, dilanjutkan dengan kitab-kitab ilmu yang mendalam. Walaupun sekarang telah banyak pelajaran umum yang diberikan dibeberapa pesantren namun pengajaran kitab klasik masih merupakan hal yang terpenting untuk tujuan pewarisan pemahaman Islam tradisional dan pembekalan caloncalon ulama . Biasanya tingkat suatu pesantren dan pengajaranya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan. Dalam dunia pesantren pelestarian pengajaran kitab-kitab klasik berjalan terus menerus dan secara kultural telah menjadi ciri khusus pesasntren sampai saat ini. Peran kelembagaan pesantren dalam meneruskan tradisi keilmuan Islam klasik sangatlah besar. Pengajaran kitab-kitab klasik tersebut pada gilirannya telah menumbuhkan warna tersendiri dalam bentuk paham dan sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini berkembang secara wajar dan mengakar dalam kultur pesantren, baik yang berbentuk dari pengajaran kitab-kitab klasik, maupun yang lahir dari pengaruh lingkungan pesantren itu sendiri.

3. Dasar dan Tujuan Pendirian Pondok Pesantren
a. Dasar pendirian pondok pesantren
Dasar pendirian pondok pesantren adalah sejalan dengan hidup kaum santri itu sendiri, yakni agama Islam. Dasar pandangan mereka dikembangkan dengan berdakwah, yang sesuai dengan ajaran Islam dan Al-Qur an surat An-Nahl ayat 125, yang berbunyi:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk .
Dalam dakwah mereka harus menggunakan cara yang sesuai dan memenuhi apa yang diharapkan dalam keberhasilan dakwahnya. Cara pengembangan agama Islam antara lain dengan memperdalam ajaran Islam di pondok pesantren, sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surat At-Taubah yang berbunyi
“Tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Pondok pesantren didirikan secara individual oleh seseorang atau beberapa orang Kyai (biasanya sefamili). Maka segala sesuatu yang berlaku dalam pondok pesantren tersebut sangat bergantung pada system leadership Kyai yang bersangkutan. Oleh karena itu masing-masing pondok pesantren mempunyai ciri khas keilmuan yang dijadikan mata pelajaran pokok yang menonjol atau berbeda dari lainya. Bilamana Kyai yang bersangkutan ahli dan gemar ilmu pengetahuan, maka pondoknyapun terkenal dengan ilmu pengetahuan tersebut. Disinilah timbul kesulitan-kesulitan besar untuk menseragamkan kurikulum atau kitab-kitab diantara pondok-pondok. Oleh kerena itu charismatic leadership Kyai yang mengasuhnya, atau kedaulatan penuh ditangan Kyai yang bersangkutan. Itulah sebabnya pondok pesantren dari segi sosiologis dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan tersendiri dimana Kyai menjadi rajanya atau sebagai sub social system, atau bahkan sebagai social organisation yang berporos pada leadership Kyai. Jadi segala pembaharuan atau inovasi sudah tentu harus melalui leader (Kyai) yang bersangkutan, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan tersendiri.

b. Tujuan pendirian pondok pesantren
Sejak awal pertumbuhanya, tujuan didirikanya pondok pesantren
adalah:
1. Mempersiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fid-din yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia.
2. Dakwah menyebarkan agama Islam.
3. Menjadi benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak.
Sejalan dengan hal itu, materi yang diajarkan di pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang langsung digali dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab, akibat perkembangan zaman dan tuntutannya, tujuan pondok pesantren menjadi bertambah dikarenakan peranannya yang signifikan. Tujuan itu adalah berupaya meningkatkan pengembangan masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Namun sesungguhnya, tiga tujuan terakhir adalah manifestasi dari hasil yang dicapai pada tujuan pertama, tafaqquh fid-din. Tujuan inipun semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman yang ada pada saat pondok pesantren itu didirikan.
Melihat dari tujuan tersebut, jelas sekali bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berusaha menciptakan kaderkader mubaligh yang diharapkan dapat meneruskan misinya dalam dakwah Islam, disamping itu juga diharapkan bahwa, mereka yang berstudi di pondok pesantren menguasai betul akan ilmu-ilmu keislaman yang diajarkan oleh para Kyai, dan sekaligus bertaqwa kepada Allah SWT. Firman Allah menyebutkan dalam surat Al-Hujarat ayat 13 bahwa:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Tujuan formal pondok pesantren perlu disesuaikan dengan tujuan pendidikan, seperti yang telah ditetapkan oleh MPR tersebut. Jadi perlu adanya perumusan tujuan yang bersifat integrated yang dapat menampung cita-cita negara dan ulama. Tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1) Tujuan umum: yaitu membentuk mubaligh-mubaligh Indonesia berjiwa Islam berpancasila dan bertaqwa, yang mampu baik rohaniyah maupun jasmaniyah mengamalkan ajaran agama Islam bagi kepentingan, kebahagian hidup diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta negara Indonesia.
2) Tujuan khusus:
a) Membina Suasana hidup keagamaan dalam pondok pesantren sebaik mungkin sehingga berkesan pada jiwa anak didiknya (santri).
b) Memberikan pengertian keagamaan melalui pengajaran ilmu agama Islam.
c) Mengembangkan sikap beragama melalui praktek-praktek ibadah.
d) Mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam pondok pesantren di sekitarnya.
e) Memberikan pendidikan ketrampilan, civic dan kesehatan, olah raga, kepada anak didik.
f) Mengusahakan terwujudnya segala fasilitas dalam pondok pesantren yang memungkinkan pencapaian tujuan umum tersebut.
Tujuan institusiaonal pesantren yang lebih luas dengan tetap mempertahankan hakikatnya dan diharapkan menjadi tujuan pesantren secara nasional, pernah diputuskan dalam musyawarah atau lokakarya mengemukakan bahwa:
1) Tujuan umum didirikan pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
2) Adapun tujuan khusus didirikan pesantren adalah sebagai berikut:
a) Mendidik siswa atau santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan dan sehat lahir dan batin sebagai warga negara yang berpancasila.
b) Mendidik siswa atau santri untuk menjadi manusia muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis.
c) Mendidik siswa atau santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negara.
d) Mendidik tenaga-tenaga penyuluhan pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/ masyarakat lingkungan).
e) Mendidik siswa atau santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spritual.
f) Untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.
Dari beberapa tujan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendirian pondok pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat, dan Negara.

4. Tujuan Pendidikan di Pondok Pesantren
Berbicara mengenai tujuan pendidikan pondok pesantren, kita perlu mengingat kembali historico filosofis berdirinya pondok pesantren. Oleh karena itu, tujuan pendidikan tidak lepas dari hal tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan swasta yang didirikan oleh perseorangan (Kyai) sebagai figur sentral yang berdaulat menetapkan tujuan pendidikan pondoknya. Setiap pondok mempunyai tujuan tidak tertulis yang berbeda-beda. Filsafat pendidikan menentukan nilai-nilai apakah yang ak`n dijunjung tinggi yang akan dididikkan kepada anak didiknya dengan bahan pelajaran (kitab-kitab dan sebagainya) dan cara-cara mencapainya. Sedangkan latar belakang ilmiah serta sikap filosofis para Kyai secara individual tidak sama, ada yang luas dan ada yang sempit. Tujuan tersebut dapat diasaumsikan sebagai berikut:
a. Tujuan umum: yaitu membimbing anak untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b. Tujuan khusus: yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya di dalam masyarakat.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dipimpin oleh seorang Kyai atau ulama. Di pesantren para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning. Pemahaman, penghafalan terhadap Al-Qur an dan Hadits merupakan syarat mutlak bagi para santri. Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, disamping faktor-faktor lainnya yang terkait: pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Keberadaan empat faktor ini tidak ada artinya jika tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak khayal lagi bahwa tujuan menempati posisi yang amat penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode, dan alat pengajaran selalu disesuaikan dengan tujuan. Seandainya pesantren tidak memiliki tujuan, tentu aktivitas di lembaga pendidikan Islam akan menimbulkan penilaian kontroversial, dan pendidikan ini tidak mempunyai bentuk yang konkret. Proses pendidikan akan kehilangan orientasi sehingga berjalan tanpa arah dan menimbulkan kekacauan. Jadi semua pesantren memiliki tujuan, hanya saja tidak dituangkan dalam bentuk tulisan. Hiroko Horikoshi melihat dari segi otonominya, maka tujuan pendidikan di pesantren menurutnya adalah untuk melatih para santri agar memiliki kemampuan hidup mandiri. Sedangkan Manfred Zimek melihat sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual. Tujuan pesantren menurut pengamatannya adalah, membentuk kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan. Pesantren merupakan salah satu model dari pendidikan berbasis masyarakat. Kebanyakan terdiri atas inisiyatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah untuk mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Pesantren dengan cara hidupnya yang kolektif barangkali merupakan pewajahan dan cerminan dari semangat dan tradisi, serta lembaga gotong royong yang umum terdapat di pedesaan. Nilai-nilai keagamaan seperti ukhuwah (persaudaraan), ta awun (kerja sama), jihad (berjuang), taat, sederhana, mandiri, ikhlas dan berbagai nilai eksplisit dari ajaran Islam lain yang mentradisi di pesantren ikut mendukung kelestariannya. Di dalam Al-Qur an Allah menganjurkan sikap taat, dalam firmannya surat Al-Isro ayat 36 yakni: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Dalam pelaksanannya, pendidikan pondok pesantren melakukan proses pembinaan pengetahuan, sikap dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuannya yang inti adalah mengusahakan terbentuknya manusia berbudi luhur (al akhlakul karimah) dengan pengalaman keagamaan yang konsisten (istiqomah). Allah berfirman dalam surat Ibrahin ayat 1 yakni: “Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Di dalam pondok pesantren pendidikannya ditujukan untuk mempersiapkan pimpinan-pimpinan, akhlak, dan keagamaan. Disamping itu pendidikan yang terdapat dalam pondok pesantren juga menyangkut pendidikan kemasyarakatan, dimana para santri dilatih secara teori dan praktek terhadap apa yang mereka jumpai dalam masyarakat, ikhlas dan suka berkorban untuk kepentingan umum dan kepentingan umat Islam. Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat. Yaitu menjadi pelayanan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam ditengah-tengah masyarakat ( Izz al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia. Sekaligus memilki etik dan etos kerja (amanu wa amilushshalihah) dalam firman Allah surat Al-Ashr ayat 3: ”Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Dalam sistem pendidikan nasional, diungkapkan tujuan pendidikan diantaranya adalah, menciptakan manusia Indonesia yang memilki kepribadian yang sehat, mandiri berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan yang diselenggarakan di pondok pesantren dikembangkan tidak hanya berdasarkan pendidikan keagamaan semata, melainkan juga pembinaan terhadap mental dan sikap para santri untuk hidup mandiri, maningkatkan ketrampilan dan berjiwa entrepreneurship. Karena di dalam pondok pesantren, juga dikembangkan unit usaha atau pembinaan ketrampilan yang diselenggarakan dalam usaha memenuhi tuntutan zaman dimana mereka (para santri) setelah lulus dan keluar dari pondok pesantren memiliki suatu ketrampilan tertentu yang dapat dikembangkan secara mandiri sebagai bekal hidupnya.
Pesantren merupakan lembaga pembinaan mental dan pengekangan hawa nafsu. Di pesantren ada aturan-aturan yang pantang dilanggar. Mengingat semangat santri dulu dengan santri sekarang berbeda, untuk itu pesantren perlu memperkokoh diri dengan tiga tujuan pendidikan. Pertama menanamkan kemandirian dan kreatifitas. Kedua, peduli terhadap kenyataan sekarang lewat buku-buku bacaan. Ketiga, terus menerus mendalami kitab kuning. Dari realisasi ketiga tujuan tersebut, harus diimplementasikan lewat peraturan-peraturan pesantren. Artinya, santri dapat mencapai tujuan yang satu bila tujuan yang lainnya juga bisa dicapai, walaupun dalam waktu yang berbeda. Dengan kata lain satu tujuan merupakan syarat buat tujuan lain. Sistem pendidikan pesantren yang dibangun dalam rangkaian sejarah telah melahirkan sejumlah jiwa pesantren yang meniscayakan standarisasi nilai. Jiwa yang dibangun itu, secara keseluruhan akan menjadi karakteristi-kkarakteristik yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan manapun. Jiwa pesantren yang dimaksud terimplikasi dalam panca jiwa pesantren sebagai berikut:
a. Pertama jiwa keikhlasan, jiwa yang tidak didorong oleh ambisi apa pun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah SWT. Jiwa ini terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa perbuatan baik pasti dibalas oleh Allah dengan balasan yang baik pula, bahkan lebih baik.
b. Kedua, jiwa kesederhanaan tetapi agung, sederhana bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dibalik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang besar, berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial. kesederhanaan ini menjadi identitas santri yang paling khas dimana-mana.
c. Ketiga, jiwa ukhuwah islamiyah yang demokratis. Situasi dialogis dan akrab antara-komunitas pesantren yang dipraktikkan sehari-hari, disadari atau tidak, akan mewujudkan suasana damai, senasib dan sepenanggungan, yang sangat membantu dalam pembentukan dan pembangunan idealisme santri.
d. Keempat, jiwa kemandirian. Kemandirian disini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan pribadi dan intern, tetapi juga kesanggupan membentuk kondisi pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang mandiri dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan belas kasih pihak lain. Pesantren harus mampu berdiri diatas kekuatanya sendiri.
e. Kelima, jiwa bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimis mengahadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam.
5. Sistem pengajaran di Pondok Pesantren
Dalam hal penyelenggaraan sistem pengajaran di pondok pesantren
sekarang ini paling tidak dapat digolongkan kepada tiga bentuk, yaitu:
a. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut di berikan dengan cara nonklasikal (sistem Bandongan dan Sorogan), dimana seorang Kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan; sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
b. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan dikomplek pesantren, namun tinggal tersebar disekitar penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang berdoyongdoyong pada waktu-waktu tertentu.
c. Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara system pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan ataupun wetonan, dengan para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri kalong (pulang pergi) yang dalam istilah pendidikan pondok pesantren modern memenuhi kriteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal yang berbentuk madrasah dan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.
Pesantren dengan ruh, sunnah dan kehidupan berasrama dengan Kyai sebagai tokoh pokoknya dan masjid sebagai pusat lembaganya, merupakan suatu sistem pendidikan yang tersendiri dan mempunyai corak khusus. Di dalam ruh, sunnah dan kehidupan berasrama itulah antara lain terletak kekhususan pondok sebagai sistem pendidikan. Adapun metode pengajarannya, sebenarnya adalah suatu hal yang setiap kali dapat berkembang dan berubah sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan lebih efisien untuk mengajarkan masing-masing cabang ilmu.
Pengajaran di pesantren hampir seluruhnya dilakukan dengan pembacaan kitab, yang dimulai dengan terjemah, syarah dengan analisa gramatika (i rab) peninjauan morfologis (tasrif) dan uraian semantik (murad, ghard, ma na) dengan penafsiran dan penyimpulan yang bersifat deduktif, dan kitab tersebut dibaca dengan urut dan tuntas. Hal ini tidak terbatas pada ilmu pokok seperti: tauhid dan fiqih, tetapi juga untuk ilmu lainya. Bahkan beberapa kitab menuliskan matan pelajarannya dalam bentuk nadzam yaitu pelajaran yang ditulis dalam baris-baris puitis, misalnya alfiyah dalam ilmu nahwu karangan Ibnu Malik yang berisi 1000 qaidah gramatika dalam seribu baris puisi. Untuk pelajaran yang semacam ini, para santri diharapkan
menghafalkannya diluar kepala. Dalam hal ini ada semacam rasa kebanggaan (pride) bagi santri yang mampu manghafal berbagai matan dalam berbagai cabang ilmu atau fan.
Pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang ciri-cirinya dipengaruhi dan ditentukan oleh pribadi para pendiri dan pemimpinnya, cenderung untuk tidak mengikuti pola jenis yang lain. Demikian pula dalam proses belajar mengajarnya. Sistem pengajaran pesantren secara tradisional tidak memiliki jenjang tingkatan, akan tetapi jenjang tingkatannya ditentukan oleh materi atau kitab, yaitu dari kitab yang paling sederhana sampai mengarah kepada kitab yang semakin tinggi tingkat kesulitannya. Secara garis besar sistem pengajaran yang diterapkan di pondok pesantren, dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, dimana diantara masing-masing system mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu :

a. Sorogan
Kata Sorogan berasal dari bahsa Jawa yang berarti sodoran atau yang disodorkan. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Seorang Kyai atau guru menghadapi santri satu persatu, secara bergantian. Pelaksanaanya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menuggu giliran masing-masing. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan Kyai dengan santrinya sangat dekat, sebab Kyai dapat mengenal kemampuan pribadi santrinya satu persatu. Kitab yang disodorkan kepada Kyai oleh santri yang satu dengan yang lainnya tidak harus sama. Oleh karena itu Kyai yang menangani pengajian secara sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang Kyai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.

b. Bandongan
Sistem bandongan ini sering disebut dengan halaqah, dimana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh Kyai hanya satu, sedangkan para santrinya membawa kitab yang sama, kemudian santri mendengar dan menyimak bacaan Kyai. Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah itu lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara Kyai berusaha menemukan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukalaf. Kyai tidak memperdulikan apa yang dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kyai dalam hal ini memandang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT, dari segi pendidikan terhadap santri, dari kemauan dan ketaatan para santri, sedangkan dari segi pengajaran bukan merupakan yang utama. Pelaksanaan pengajian bandongan oleh masyarakat Jawa Timur sering disebut weton.

c. Weton
Istilah weton berasal dari bahasa jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu. Misalnya pada setiap selesai shalat jum at dan sebagainya. Apa yang dibaca Kyai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasa atau dipastikan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru atau Kyai hanya memetik disana sini saja, peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian Kyai kepada peserta pengajian bermacam-macam, ada yang
diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas.


B. Kehidupan Sosial Keagamaan
1. Pola Kehidupan Santri di Pondok Pesantren
Santri di pondok pesantren mempunyai kebiasaan yang unik, yakni menggunakan sesuatu milik santri lain seenaknya. Setiap santri menganggap benda dan barang yang ada adalah milik bersama, bisa didapat bersama dan penggunaannyapun keroyokan. Bila ada satu barang atau benda yang dibutuhkan langsung dipakai, tidak peduli siapa pemiliknya. Kebiasaan ini dikenal dengan ghasab . Budaya ghasab tidak terbatas pada satu jenis barang seperti sandal, baju, sarung, kopyah handuk dan sebagainya, tapi berlaku juga makanan. Jika ada santri yang masuk kebilik temannya dan kebetulan disitu ada makanan, santri tersebut langsung menyantapnya, biarpun pemiliknya tidak ada. Lain halnya bila ada kiriman nasi gulung dari orang tua. Santri yang mendapat kiriman langsung berteriak memberi pengumuman ada nasi gulung. Santri satu daerah sudah pasti berdatangan dan ramai-ramai makan bersama, rebutan ambil suapan, persis anak ayam yang dipanggil oleh induknya. Memang ada kesan serabutan, namun nikmatnya tidak bisa dibandingkan dengan makan di restoran. Orang makan direstoran kesannya formalistis, serba diatur, terikat dan individualis, kadang hanya sekedar menaikkan gengsi. Makan serabutan model santri nikmat luar biasa. Ada refleksi yang tinggi seperti dalam budaya ghasab . Kebudayaan ghasab hampir membudaya disetiap pesantren, utamanya di pesantren besar. Anehnya, budaya seperti ini seakan di legitimasi oleh sikap santri sendiri yang tidak merasa kehilangan walau barangnya kena ghasab. Santri juga tidak marah-marah sambil berkacak pinggang memarahi anak yang menggosob barangnya, ia mencari barang sejenis milik temannya untuk dipakai. Ada perbedaan mental yang sangat mencolok antara komunitas santri dilingkungan pondok pesantren dengan masyarakat diluar sana. Pdrbedaan ini disebabkan oleh kebiasan sehari-hari. Kepemilikan barang masyarakat mutlak milik pribadi, individual. Tidak ada barang pribadi yang di atas namakan milik bersama, kecuali barang yang didapat secara kolektif. Presepsi ini menimbulkan mental sense of belonging yang tinggi terhadap milik pribadi dan kurang toleran bila barangnya dipakai orang lain. Puncaknya, timbul sikap arogan dan pengagungan yang berlebihan terhadap harta bend`. Sebailknya, sifat kepemilikan komunitas santri tidak mutlak atas nama pribadi kepada harta bendanya , santri memiliki presepsi kolektif. Bila dapat kiriman dari orang tuanya, ia sisihkan sedikit untuk membantu temantemannya. Setiap santri tidak keberatan membantu sesama santri, karena mental mereka sudah dibentuk secara egalitarian oleh lingkungan pondok. Mental seperti ini menimbulkan sikap gotong royong, kebersamaan dan sosialisme. Tapi ini bukan berarti sesama santri tidak menghargai hak milik. Sebab rasa kebersamaan diantara mereka diimbangi oleh pengakuan dan penghargaan harta benda temannya. Kalau ada santri yang ditraktir makan karena kiriman telat, maka pada kesempatan lain, ketika kiriman temannya juga telat, ia tidak segan-segan mentraktir temannya makan. Mengapa terjadi pentraktiran dialogis semacam ini. Masing-masing santri merasa kekurangan seperti apa yang dialami temannya disebabkan oleh sikap dermawannya pada saat ia membantu mentraktir makan. Demikian pula sebaliknya. Inilah yang dimaksud pembentukan mental saling menghargai hak milik santri yang lain. Bahwa, milik pribadi seorang santri jadi berkurang karena membantu santri lain, dan karena itu harus dibantu pula, Ini merupakan hubungan prinsip kekerabatan yang diakui kebenarannya oleh masing-masing santri. Komunitas santri sebenarnya merupakan masyarakat Islam yang terdiri atas kelompok-kelompok anak didik yang saling terikat oleh tradisi dan sistem, kebiasan serta hukum-hukum ekologi yang khas dan jarang ditemui kesamaannya pada komunitas lain.
Kehidupan bersama khas pondok pesantren adalah kehidupan yang di dalamnya kelompok-kelompok santri hidup bersama-sama disuatu wilayah tertentu dan sama-sama berbagi iklim serta makanan yang sama. Kehidupan masyarakat santri bersifat fitrih. Di suatu pihak, kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan seharihari, pada hakekatnya bersifat kemasyarakatan Islam, dan kemasyarakatannya akan tetap maujud selama pembagian dan rasa saling membutuhkan. Di pihak lain, gagasan ideal, perangai-perangai serta kebiasaan-kebiasaan khas setiap santri, dapat memberi mereka suatu rasa kesatuan. Dengan kata lain, masyarakat santri adalah suatu kelompok manusia yang dibawah pemenuhan serangkaian kebutuhan dan pengarah seperangkat kepercayaan. Ideologi dan tujuan tersatukan sampai melebur dalam rangkaian kesatuan hidup bersama. Sifat penuh kebersamaan seperti model kehidupan masyarakat santri sepadan dengan perumpamaan Nabi Muhammad SAW ketika beliau melukiskan falsafah Amr ma ruf nahi munkar. Gambaran kebersamaan pada komunitas santri jarang kita temui di masyarakat luar. Masyarakat luar merupakan deskripsi sosial yang penuh kepura-puraan, kontradiktif, formalistis dan ekspansif. Masing-masing individu berusaha menekan individu yang lain. Jabatan dan kekayaan difungsikan sebagai symbol kedudukan dan menjadi instrumen kekuasaan yang makin lama bertambah kuat menekan kelompok yang kecil. Secara normatif, masyarakat santri adalah idealisme hidup kekeluargaan dan persaudaraan yang menumbuhkan sikap egaliter, Menumbuhkan sikap penuh kemulyaan sebagai makhluk berakal, Dapat menumbuhkan jalan terang bagi lingkungannya, Dapat bermanfaat bagi kemanusiaan, Menumbuhkan sifat penuh keterbukaan yang menumbuhkan prestasi pengabdian mendahului, Bersifat monokotomis yang menimbulkan intregalisme system Ilahiyah kedalam sistem Insaniyah dan sistem Kauniyah, Hidup penuh keseimbangan yang menumbuhkan kebijakan dan kearifan dalam mengambil keputusan, Sikap altruistik yang menumbuhkan rasa kebersamaan dalam mementingkan orang lain, Sikap demokratis yang menumbuhkan rasa penghargaan dan penghormatan terhadap presepsi dan aspirasi yang berbeda, Sikap adil yang menumbuhkan persamaan hak serta perolehan, hidup manusiawi yang menumbuhkan usaha menghindarkan diri dari dominasi dan eksploitasi, penuh kesederhanaan yang menumbuhkan rasa dan karsa, menjauhkan diri dari pemborosan dan kemubadziran.
Lingkungan serta budaya pesantren memenuhi syarat guna membentuk potensi dan kesempatan bagi santri dalam mengembangkan diri membentuk manusia Qur ani. Ada pepatah mengatakan custom makes all thing easy . Dalam konteks demikian, lingkungan pondok pesantren yang penuh kebiasaan hidup secara alami, tidak akan mengalami kesukaran untuk mengubah mental dan sikap santri menjadi manusia idaman menurut agama, bangsa dan negara.92
2. Pendidikan Santri
Menurut Marimba bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan secara jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.93 Pendidikan yang dialami santri pada saat ini telah mengalami suatu perubahan karena arus globalisasi, yang berkaitan dengan pendidikan santri di pondok pesantren. Pemerintah dalam hal ini departemen agama dibantu oleh beberapa departemen lain sejak repelita II telah menetapkan policy tentang teknis pembinaan pondok pesantren yang menyangkut peningkatan mutu tertuju kepada dua bidang kemampuan, yaitu:
a. Kemampuan dalam ilmu pengetahuan agama secara teoritis dan praktis.
b. Ketrampilan kejuruan dan ketrampilan.
Usha peningkatan mutu tersebut dituangkan dalam program
pendidikan yang tercakup di dalam 5 komponen peningkatan yaitu:
a. Peningkatan dalam pendidikan dan pengajaran agama sistem dan metode yang telah ada ditambah dengan metode lain yang lebih efektif.
b. Kepramukaan yang mendidik para santri agar lebih mampu menghayati kenyataan hidup dalam masyarakat sebagai warga negara Indonesia yang betangguang jawab terhadap kesejahteraan bangsa dan umat.
c. Kesehatan dan olah raga agar para santri benar-benar mampu memahami dan mengamalkan ajaran agama tentang hidup sehat rohaniyah dan jasmaniyah sesuai dengan ilmu pengetahuan modern.
d. Seni budaya sebagai manifestasi rasa keagamaan yang sehat dan berguna untuk menghaluskan budi serta perasaan sebagai hambatan. Dengan seni manusia tidak gersang jiwanya dan dengan seni manusia dapat menikmati hidup beragama.
e. Ketrampilan dalam segala bidang pekerjaan yang relevan dengan tugas hidupnya dalam masyarakat. Dengan skill dan ketrampilan yang dimilikinya para santri akan mampu berdakwah dengan hasil yang lebih efektif dari pada hanya berkhotbah saja.
Pondok pesantren kini mengalami suatu transformasi kultur system dan nilainya. Tarnsformasi tersebuat adalah sebagai jawaban atas kritikankritikan yang diberikan kepada pesantren dalam arus transformasi dan globalisasi sekarang ini, yang menyebabkan terjadinya perubahan drastic dalam sistem dan kultur pesantren seperti:
a. Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem kalasikal yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan madrasah.
b. Diberikannya pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab.
c. Bertambahnya komponen pendidikan pesantren misalnya ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar
d. Diberikannya ijazah yang telah menyelesaikan studinya di pesantren, yang terkadang ijazah tersebut disesuaikan dengan ijazah negri.
Menurut Mahpuddin noor, pondok pesantren diakui pemerintah sebagai sub sistem pendidikan nasional yang menyelenggarakan program pendidikan dasar. Ijazah pondok pesantren penyelenggara program tersebut, mempunyai kedudukan yang sama dengan pendidikan jalur sekolah lainnya yang setara. Seperti sekolah dasar/Madrasah Ibtidaiyah atau sekolah lanjutan pertama/Madrasah Tsanawiyah. Lulusan Pondok pesantren tersebut memiliki hak dan kesempatan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada jalur sekolah, sekaligus memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan.
Pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyukseskan pendidikan nasional. Saat ini, banyak orangtua perkotaan menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren karena pendidikan umum telah menjadi bagian standar dari penyesuaian pesantren terhadap modernitas. Pesantren dianggap juga sebagai lembaga pendidikan yang relatif aman bagi anak-anak mereka yang berusia remaja, dari pengaruh-pengaruh negatif. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang tepat adalah lembaga yang dapat melindungi anakanak mereka dari pengaruh-pengaruh negatif dan yang menawarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah. Saat ini pesantren mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Berangkat dari realitas tersebut, dengan kesiapan dan penyesuaian yang dilakukan pesantren serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, maka sudah waktunya pengelolaan pendidikan pesantren dimasukkan di bawah Departemen Pendidikan Nasional.
Santri diharapkan menjadi generasi Qur ani menyongsong masa depan gemilang. Yaitu generasi yang berakhlak mulia, mereka bukan saja pandai dalam ilmu pengetahuan tapi juga pandai membaca dan menulis Al- Qur an serta dapat menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberantas buta aksara di kalangan santri Salafi, mengikuti program pemerintah wajib belajar sembilan tahun dibuktikan dengan menggelar sosialisasi pendidikan kesetaraan Paket A, B dan C. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada santri Salafi untuk mengenyam pendidikan di luar pendidikan keagamaan yang diperoleh dari dalam pesantren. Pihak pondok pesantren dengan kegiatan sosialisasi ini, ingin menyamakan persepsi bahwa pendidikan umum memiliki kedudukan yang sama dengan pendidikan keagamaan yang selama ini mereka pegang teguh. kegiatan ini akan menjadi satu gebrakan dahsyat bagi Pondok Pesantren Salafi untuk memulai satu perubahan. Semoga dengan pendidikan kesetaraan, pondok pesantren Salafi yang selama ini masih menutup diri dan member jarak kepada urusan pemerintah agar mau terbuka dan menganggap pendidikan itu penting.
Data yang diperoleh dari Kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama, serta Pemerintah Daerah, sebagian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah mereka tidak melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Namun, mereka tersebar di pondok pesantren dengan jumlah yang relatif banyak. Kondisi pondok peantren sperti ini, akhirnya direspon oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Tujuan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok pesantren salafiyah, seperti yang tercantum pada buku panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan pelayanan program nasional wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun melalui salah satu jalur alternatif, dalam hal ini pondok peantren.
b. meningkatkan peran serta pondok pesantren salafiyah dalam menyelenggarakan program wajib belajar sembilan tahun bagi para santri, sehingga dapat memilki kemampuan setara dan kesempatan yang sama untuk ke jenjang yang lebih tinggi.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pondok pesantren salafiyah, bukan lagi sebuah wacana, namun kini telah digulirkan dan dilaksanakan.
3. Interaksi Santri
Sebagai sumbu utama dari dinamika sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Islam tradisional, pesantren telah membentuk suatu subkultur, yang secara sosial antropologis bisa dikatakan sebagai masyarakat pesantren. Artinya apa yang disebut psantren disitu bukan semata wujud fisik tempat belajar agama, dengan perangkat bangunan agama, dengan perangkat bangunan, kitab kuning, santri dan kiyainya. Tetapi juga masyarakat dalam pengertian luas yang tinggal disekelilingnya dan membentuk pola hidup budaya, sosial dan kagamaan, yang pola-polanya kurang lebih sama dengan orientasi pesantren. Kebudayaan masyarakat tersebut memang tidak bisa dibantah memang di pengaruhi oleh pesantren. Dalam arti masyarakat sekitar tersebut, adalah juga dari bagian dalam diri masyarakat pesantren.
Secara teoritis, santri-santri yang pergi ke suatu pesantren bukan hanya dalam rihlah untuk mendekati seorang kiai atau bahasa sopan nyauntuk mendapatkan barokah dari pengabdian itu sendiri. Tetapi, santri-santri yang mondok hanya untuk menjadikan kita bisa beradaptasi dengan masyarakat. Dengan kumpul bersama teman-teman dan melaksanakan berbagai kegiatan dari tetek-bengek yang ada seperti, menanak nasi bersama, makan bersama, mandi bersama, dan semuanya bernilai kesosialan dan hal ini menunjukkan suatu realitas sebuah kebutuhan masyarakat kita, yang didalamnya juga berdiri beberapa kegiatan berbasis kemasyarakatan dan pengasahan kepribadian santri.
Dengan nilai sosial akan menyebabkan rasa saling bantu menbantu dan kerjasama sementara itu Allah akan merestui. Ini ditunjukkan dlam surat Al-Jin ayat 16 yakni: “D`n bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak”).
Masyarakat menganggap, anak-anaknya yang dipondokkan paling tidak untuk membawa angin perubahan di sana. Bukan lantas meresahkan atau menjadi sampah masyarakat yang kesannya santri yang mondok tidak membuahkan hasil sama sekali. Dengan begitu bagi penyandang predikat santri untuk lebih hati-hati dan menyiapkan diri. Sebenarnya santri mempunya tugas kepada masyarakat dalam tujuan untuk memperkenalkan diri di sana. Yaitu, menunjukkan kesantrian kita, menyebarkan ajaran serta nilai-nilai kesantrian dan menyuruh serta mencegah dari apa yang dilakukan oleh masyarakat. Didalam Al-Qur an juga menganjurkan bahwasannya, sesama mu min harus saling berhubungan, yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Hujarat ayat 10, surat Al-Anbiya ayat 92 dan surat Al-Anfal ayat 46 yakni: ”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.106 Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu[971] dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku”. “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang saba”.
Peran Santri dan Pondok Pesantren Dalam Sosial Keagamaan Peran santri terhadap sosial keagamaan masyarakat dapat dilakukan dengan cara berdakwah. Dakwah adalah suatu kegiatan dimana dalam pelaksanaannya menerapkan prinsip-prinsip menajemen yang bertujuan untuk menyukseskan dan mencapai tujuan dari dakwah itu sendiri. Dalam system pegelolaan ini, tentu saja keterlibatan manusia sebagai tenaga pengelola dakwah itu paling utama. Oleh karena itu keberhasilan pelaksanaan dakwah, salah satunya sangat terkait dengan bagaimana sistem pengelolaan dakwah itu dilakukan dan diterapkan didalamnya. Kalau sistem pengelolaan itu dilakukan secara terarah, teratur, dan adanya pembagian tugas yang jelas maka, besar kemungkinan program dakwah akan berjalan dengan baik. Rencana kegiatan dakwah yang dilakukan dalam rangka memakmurkan masyarakat dibagian keagamaan, yaitu dengan cara mengaktifkan berbagai macam kegiatan keagaman untuk membangkitkan semangat para santri dalam meningkatkan kuwalitas dakwah yang bukan hanya bersifat lokal, tetapi mampu menghadapi masyarakat perkotaan dan intelektual. Bentuk dakwahpun tidak sekedar disetujui oleh pihak badan pengolola dakwah tetapi juga harus mengikuti kehendak masyarakat yang kadang-kadang tidak sesuai metode yang berlaku.
Peran sosial santri adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah merupakan tuntutan dari masyarakat terhadap individu untuk memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut. Peran sosial santri bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara mengambil bagian dalam kegiatan yang ada di masyarakat dalam berbagai sektor, baik sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan lain-lain. Pengambilan peran ini tergantung pada tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta kepekaannya dalam melihat keadaan masyarakatnya. Dalam rangka memainkan peran dalam masyarakat seorang santri tidak harus menjadi pemimpin atau merasa tidak bisa memainkan peran apabila tidak menjadi pemimpin. Peran sosial bisa dilakukan dalam posisi manapun seorang santri berada. Apabila keadaanya memang mengharuskan untuk berada di belakang maka dia harus bisa menerima kepemimpinan orang lain, akan tetapi apabila keadaan mengharuskannya menjadi pemimpin maka dia harus berani mengambil posisi kepemimpinan dan memandangnya sebagai tugas dari Allah, serta memainkan perannya sebagai khalifah Allah di bumi-Nya. Kita bisa belajar dari pepatah jawa yaitu ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karyo, tut wuri handayani . Sebagai ummat Nabi Muhammad SAW kita selayaknya meniru apa yang beliau perankan dengan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Peran ini akan dapat kita mainkan dengan senantiasa menjadikan diri kita sebagai sesuatu yang baik dan menguntungkan bagi lingkungan di mana kita berada, bukan malah menjadi masalah dan kesulitan bagi lingkungan tersebut.
Sebagai lembaga dakwah pesantren berusaha mendekati masyarakat. Pesantren bekerja sama dengan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan sosial masyarakat desa. Warga pesantren telah terlatih melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara santri dan masyarakat, Kyai
dan kepala desa.
Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan anak didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan, dan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya. Sebenarnya, pesantren mampu bertindak sebagai transformator terhadap semua segi nilai yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia. Fungsi secara demikian telah dibuktikan keberhasilannya pada saat wali songo dulu merintis berdirinya pesantren. Fungsi yang kondusif sebagai transformator tersebut akan berhasil bila masyarakat kita telah mampu memahami pesantren secara utuh. Tanpa pemahaman demikian, pesantren akan tetap seperti sekarang ini. Masyarakat dan pesantren tidak ubahnya dua sisi mata uang. Masingmasing saling bergantung dan saling mempengaruhi. Pesantren tanpa masyarakat, sebaliknya juga bisa digambarkan seperti uang kuno yang sudah tidak laku dijadikan alat jual beli. Keberadaan dan situasi di masyarakat akan mempengaruhi sistem program di pesantren, sebaliknya program di pesantren juga dapat menentukan model budaya masyarakat. Sementara itu, mekanisme pembinaan di pesantren sedikit banyak dipengaruhi oleh performance kyai. Dalam keadaan demikian, peran Kyai terhadap perubahan sistem nilai masyarakat demikian besar. Kyai bahkan mempunyai potensi membolak-balik nilai baku yang telah berkembang di masyarakat sebelumnya.
Peran utama yang dimiliki pesantren atas kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan, yang diakibatkan oleh perbedaan strata yang ada di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal balik yang memiliki dua tugas: mengatur bimbingan spiritual dari fihak pesantren kepada masyarakat dalam soal-soal ibadah ritual, dan mengatur pemeliharaan materiil finansial oleh masyarakat atas pesantren (dalam bentuk pengumpulan dana-dana dan sebagainya). Bagi anggota masyarakat luar, kehidupan di pesantren merupakan gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisir dalam kehidupannya sendiri. Dengan demikian pesantren adalah tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual kepadanya pada saat-saat tertentu, terutama dalam menghadapi kemalangan dan kesukaran. Disamping itu, pesantren adalah sumber inspirasi bagi sikap hidup yang diinginkan untuk dapat tumbuh dalam diri anak-anaknya, terlebih lagi jika sistem pendidikan diluar pesantren tidak memberikan harapan besar bagi terjangkaunya ketenangan dan ketentraman hidup mereka. Pada kedua hal itu, terletak daya tarik pesantren dalam pandangan masyarakat pada umumnya. Disamping itu, bagi pesantren yang menjadi pusat gerakan (tasawuf), terdapat daya tarik dalam kedudukan sebagai pusat gerakan. Tidak jarang pula factor karisma yang dimiliki secara pribadi oleh seorang pengasuh merupakan daya tarik yang kuat dalam mempengaruhi masyarakat.
Sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Jaringan kerjasama dengan pihak eksternal mutlak dibutuhkan dalam rangka melebarkan sayap kerja, yang secara otomatis masyarakatpun akan merasa lebih diayomi oleh para santri. Dengan relasi kerja ini pula, sekelompok santri peduli lingkungan akanterdeteksi peran dan kontribusinya, akan terbaca lebih luas oleh masyarakat segala kiprahnya. Pesantren selain dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam, juga menonjol sebagai lembaga sosial keagamaan. Orientasi kemasyarakatan pesantren secara tradisional sudah terwujud jauh sebelum pesantren dikenal oleh banyak cendikiawan. Bentuk kegiatan kemasyarakatan tradisional yang dimaksud seperti pelayanan pengobatan dan praktek perdukunan. Selain itu juga berbagai kegiatan yang umumnya berbentuk konsultasi kerohanian untuk masalah kehidupan sehari-hari. Pelayanan kemasyarakatan tersebut pada dasarnya menunjukkan untuk melindungi kedudukan, tardisi dan cirri kepribadian mereka.
Peran pondok pesantren dalam keagamaan, pondok pesantren dikembangakan untuk mengefektifkan usaha penyiaran dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Dalam pelaksanaannya, pendidikan pondok pesantren melakukan pembinaan pengetahuan, sikap dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuannya yang inti adalah, mengusahakan terbentuknya manusia berbudi luhur (al aqlakul karimah) dengan pengalaman keagamaan yang konsisten (istiqomah).
Disamping itu pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya secara multidimensional, baik berkaitan langsung dengan aktivitas-aktivitas pendidikan pesantren maupun diluar wewenangnya. Dimulai dari upaya mencerdaskan bangsa. Hasil berbagai observasi menunujukkan bahwa pesantren tercatat memiliki peran penting dalam sejarah pendidikan di tanah air dan telah banyak memberi sumbangan dalam mencerdaskan rakyat.
Dalam peran tradisionalnya pesantren sering di identifikasikan memilki tiga peran penting dalam masyarakat Indonesia:
a. Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu islam tradisional.
b. Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional.
c. Sebagai pusat reproduksi ulama.
Lebih dari itu pesantren tidak hanya memainkan tiga peran tersebut, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Sebagai lembaga pendidikan, peran utama pesantren tentu saja menyelenggarakan pendidikan*keislaman kepada para santri. Namun, dari masa ke masa, pesantren tidak hanya berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga peran-peran sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

2 komentar:

insidewinme mengatakan...

Aqliyah Islamiyah adalah pola berfikir atas dasar Islam, yaitu hanya menjadikan Islam sebagai tolok ukur universal bagi pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan. Sedangkan Nafsiyah Islamiyah adalah pola sikap yang menjadikan seluruh kecenderungannya atas dasar Islam, yaitu hanya menjadikan Islam sebagai satu-satunya tolok ukur universal pada saat memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Humam Syaharuddin mengatakan...

tERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA SHOB